tag:blogger.com,1999:blog-90110711958435997872024-03-06T06:54:24.407+07:00kosakatakitaUnknownnoreply@blogger.comBlogger21125tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-48529762986584560102012-09-08T13:28:00.006+07:002012-09-08T13:34:59.819+07:00MENYAMBUT BUKU PROFIL PEREMPUAN & PENGARANG INDONESIA - KURNIA EFFENDI<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvl2FzY10S9Na4fn9C15o8yAd8lUeG6cvxjkAyHE0ECzcb1rSx8KLdtzXanv2zik6V_uog34IGC42jy06qSURgZ-HlpyZkrwcQIA7ia9wFLBgVNOl3PV33rnvlJsd0MdeuSL79ihr2tk3x/s1600/IMG_2979.jpg" style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; "><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 305px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvl2FzY10S9Na4fn9C15o8yAd8lUeG6cvxjkAyHE0ECzcb1rSx8KLdtzXanv2zik6V_uog34IGC42jy06qSURgZ-HlpyZkrwcQIA7ia9wFLBgVNOl3PV33rnvlJsd0MdeuSL79ihr2tk3x/s320/IMG_2979.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5785690106432809858" /></a><br /><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><em><span style="font-family:courier new;">Perempuan adalah ‘magma’ untuk hampir semua profesi. Ketika takdir membawa mereka sebagai penulis, ramuan antara realitas dan imajinasi menjadi lebih kaya oleh sentuhan emosi, bahkan memberi banyak kejutan. Dan seperti magma pula, dalam peta sastra kerap luput oleh dominasi laki-laki yang menggunung. Buku ini membuktikan bahwa tak sedikit perempuan penulis di Indonesia, dan banyak di antara mereka berawal dari cerpenis/novelis remaja</span></em></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><em><span style="font-family:courier new;"><br /></span></em></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Itulah pendapatku ketika naskah buku <em>Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia</em> disodorkan oleh Kurniawan Junaedhie (selanjutnya KJ) kepadaku.Secara <em>softcopy</em>maupun <em>hardcopy</em>. Namun sebelum itu, ia memang sudah berancang-ancang lama untuk menyusun nama perempuan penulis, kukira dengan dua alasan: (1) sepanjang dua tahun belakangan, bergaul dengan banyak perempuan yang agak mendadak menjadi penyair dan fiksiwati, (2) ingin membuat para hawa yang berbakat, setengah berbakat, dan memiliki minat berat terhadap penulisan itu tercatat. Artinya, KJ ini memang tekun sebagai pemerhati, bak ketika dia aktif dengan <em>anthurium</em>-nya. Selain itu, ada sebuah celah untuk mencetak sejarah secara ringkas namun bermanfaat bagi banyak orang (terutama) yang ingin meneliti tentang sastra dari sisi penulis perempuan.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Ide yahud, kurasa. Buku ini jadi penting. Penyusunnya akan bertambah penting, dan profil yang terhimpun di dalamnya berada pada posisi dipentingkan. Bersyukur aku memiliki dua. Satu kuberikan kepada teman yang namanya tercantum di dalamnya. Sebagaimana pernah kukatakan dalam status FB di Hari Kartini, selalu terbukti bahwa tulisan lebih kuat menorehkan jejak ketimbang benda tajam lainnya. Kukira, buku ini bakal dikenang dan disukai, terutama oleh tokoh-tokoh yang tertera di sana.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; "><span style="font-family:courier new;">Dan aku tersanjung oleh “ucapan” KJ dalam pengantarnya: "Pada gilirannya selaku penyusun buku ini, saya harus mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak. Utamanya kepada sejawat yang budiman Adri Darmadji Woko dan Kurnia Effendi. Merekalah yang selama penyusunan buku ini berlangsung, menjadi supervisor saya. Bukan menjadi rahasia umum lagi, di samping memiliki koleksi buku yang lumayan, kedua sejawat saya tersebut memang dikenal memiliki ingatan tajam dan pengetahuan luas tentang khasanah kepenulisan sesuai minat masing-masing."</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; "><span style="font-family:courier new;">Berlebihan sih. Mas Adri menyukai puisi, aku menggemari cerpen. Bukan berarti hebat. Tetapi kecintaan kami terhadap sastra ternyata ada manfaatnya bagi KJ. Jadi kupersilakan saja ketika KJ berniat singgah ke Rumah Anggit untuk menelisik satu per satu buku milikku (setelah sebelumnya ke rumah Mas Adri). Dan memang, tanpa disadari aku ikut berpikir: siapa lagi ya? Setidaknya kemudian kuusulkan nama-nama seperti Kembangmanggis, Katyusha, Judith, Reda Gaudiamo (yang selama ini dikira cowok oleh KJ), Vivi Diani Savitri, Rita Achdris, Riana Ambarsari, Wikan Satriati….</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; "><span style="font-family:courier new;">Cara kerja KJ begitu lekas, gegas. Tidur menjelang pagi, pagi-pagi sudah kelayapan lagi, di antaranya ke pusdok HB Jassin. Obsesif. Tak mau menunda. Kritis. <em>Blitzkrieg</em>. Tapi untuk tidak terlalu serampangan. Selalu ada target waktu, spontan, agak gila, tapi realistis. Ah, aku ingat betul bagaimana dia dulu bersama Seno Gumira, Noorca, Dharnoto, membikin majalah yang dua per tiga berisi gambar: <em>Jakarta Jakarta</em>. Seru!</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; "><span style="font-family:courier new;">Kini buku itu sudah usai dan aku yakin telah beredar luas. Peluncurannya kalau tak salah mengambil tempat di Jepara bertepatan dengan tanggal lahir Bunda Raden Ajeng Kartini. Aku tak perlu menjelaskan bagaimana buku ini suatu saat akan menjadi pegangan wajib mahasiswa fakultas sastra, namun yang lebih gawat adalah: buku ini akan membuat para perempuan yang tak kunjung menulis, luput dari catatan KJ.</span></p><p style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; "><span style="font-family:georgia;"><br /></span></p><p style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; "> </p><p style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; "><span style="font-family:georgia;">Salam hangat</span></p><p style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; "><span style="font-family:georgia;">Kurnia Effendi</span></p><p style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; "></p><p style="font-size: 11px; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><br /></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-77622539075049297282012-09-08T13:24:00.002+07:002012-09-08T13:35:34.180+07:00SECANGKIR HARAPAN - ASPAR PATURUSI<p face="'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif" size="11px" style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "></p><p face="'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif" size="11px" style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; "></p><p style="font-size: 11px; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; "><strong>SUDAH TERBIT AWAL JULI 2012:</strong></p><p style="font-size: 11px; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; "><strong><br /></strong></p><p style="font-size: 11px; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; ">SECANGKIR HARAPAN, buku kumpulan puisi Aspar Paturusi.</p><p style="font-size: 11px; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; ">Kata Pengantar: Maman S. Mahayana</p><p style="font-size: 11px; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; ">ISBN: 978-602-8966-38-2178.</p><p style="font-size: 11px; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; ">Tebal 170 hal. Hard Cover.</p><p style="font-size: 11px; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; "><br /></p><p style="text-align: justify;line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; "><span style="font-family:courier new;">"Keseluruhan puisi yang terhimpun dalam antologi ini terkesan sederhana—yang secara tekstual dapat diapresiasi tanpa harus stres memahami maknanya. Dan di balik kesederhaan itu, ada kedalaman, ada makna yang tidak sekadar, ada pesan spiritualitas berkaitan dengan keberadaan manusia dalam hubungan sosial, kenegaraan, lingkungan hidup, dan Tuhan. Di situlah, tanpa harus berkhotbah, sejumlah puisi dalam antologi ini menawarkan banyak hal, termasuk di dalamnya mengundang diskusi yang menarik ketika pembaca memasuki medan tafsir. Itulah puisi yang sebaik-baik dan sebenar-benarnya puisi! Percayalah!" <strong>(Kutipan dari Kata Pengantar Maman S. Mahayana).</strong></span></p><p style="text-align: justify;line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;line-height: 16px; margin: 0px; padding: 0px; "><span style="font-family:courier new;"><strong>ASPAR PATURUSI</strong> lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 10 April 1943. Selain menulis puisi, ia juga dikenal sebagai penulis naskah drama, dramawan, aktor film/ sinetron dan novelis. Ia juga dikenal sebagai pendiri Dewan Kesenian Makassar dan menjadi pengurusnya selama 17 tahun, Anggota/ Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1990-2002), Wakil Ketua Umum PB Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 1990-1993 dan Sekretaris DP Organisasi PARFI 2006-2010. Sebagai penyair, puisi-puisinya dipublikasikan di berbagai media massa. Antara lain pernah dimuat di <em>Mimbar Indonesia</em> asuhan HB. Jassin (1960). Puisi-puisinya ikut di berbagai antologi puisi: <em> Sajak-sajak dari Makassar</em> (1974),<em>Tonggak III</em> (1985), <em>Ombak Losari </em>(1992),<em> Ombak Makassar</em> (2009), dan <em>Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia </em>(2012). Buku puisi tunggalnya, <em>Sukma Laut </em> (1985),<em> Apa Kuasa Hujan</em> (2002), dan <em>Badik</em> (2011).</span></p><p style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; "></p><p style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; "></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-23026872706906398082012-09-08T13:11:00.004+07:002012-09-08T13:36:01.868+07:00PUISI DAN POLITIK <p face="'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif" size="11px" style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><strong>Oleh Handrawan Nadesul</strong></p><p face="'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif" size="11px" style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><strong><br /></strong></p><p face="'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif" size="11px" style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="font-size: 100%; font-family: Georgia, serif; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span class="photo_left" style=" clear: left; float: left; padding: 2px 10px 5px 0px; max-width: 180px; font-family:'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;font-size:11px;"><img class="photo_img img" src="http://photos-b.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/409180_316575051720661_1315982294_a.jpg" alt="" style="border: 0px; max-width: 493px; margin: 0px; padding: 0px; " /></span><span style="font-family:georgia;"></span></p><div style="text-align: justify; "><span style="font-family:courier new;">BENAR Alois Agus Nugroho. Kekuasaan dan kepemimpinan membutuhkan aspek puitis (<em>Kompas,</em> 4/6/2004). Bunyi itu relevan dan menggelitik batin kita yang sedang bingung mencari pemimpin bangsa yang eligible. Pesan pidato itu menyiratkan perlunya kesadaran, tanpa sentuhan "puisi" betapa kekuasaan dan kepemimpinan cenderung keras dan kasar. Setiap pemimpin perlu ruang batin untuk diisi "puisi-puisi" kehidupan. "Kepemimpinan pascamodern perlu menyadari, kekuasaan dan kepemimpinan perlu memiliki aspek puitis."</span></div><p></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Pidato itu ditutup dengan pesan, "Para pemegang kekuasaan dan pemegang tampuk kepemimpinan yang tak memiliki apresiasi terhadap sastra, musikal, atau puisi semestinya keluar dari lingkaran elite." Seelok itukah angan-angan politik bangsa kita?</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"> *** </span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">TAK ada catatan kita pernah punya presiden penyair. Bung Karno cuma apresiator sastra. Namun, beberapa presiden AS tercatat suka puisi dan mantan Presiden Abraham Lincoln adalah penyair selama bersahabat dengan penyair Walt Whitman. Sentuhan puitis memberi persona antiperbudakan dan semangat demokrasi.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Diberitakan Presiden Bush juga menulis puisi, dan mantan Presiden Bill Clinton berapresiasi sengaja mengundang tiga penyair kenamaan ke Gedung Putih saat Bulan Puisi Nasional. Tak banyak yang tahu bila Donald Rumsfeld (Menhankam AS) juga seorang penyair. Membaca setiap pidato mantan Presiden Ronald Reagan semasa hidupnya, kita merasakan betapa kaya ungkapan puitisnya. Bukti bahwa dalam pendidikan Barat kesusastraan sama vitalnya dengan matematika.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Dulu penyair dipandang sebagai pujangga, penasihat raja. Boleh jadi karena dibanding orang biasa, penyair punya kelebihan, seperti kepekaan sosial, visioner, lebih dulu menangkap apa-apa yang orang biasa belum atau gagal menangkapnya, jujur pada kata hati, bicara apa adanya, dan patuh serta hormat kepada kebenaran hidup.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Pablo Neruda, penyair Cile yang beradab dalam berpolitik, pernah menjadi kandidat presiden Cile sebelum mendapat hadiah Nobel. Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Perancis, pioner demokrasi dan kebebasan pers, memilih turun terhormat, memberikan kekuasaannya kepada perdana menterinya setelah 20 tahun memerintah. Jacques Chirac pemuka Perancis, bangsa yang pernah menjajahnya menulis catatan saat kematian Senghor sang penyair yang presiden itu, <em>"Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend".</em></span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><em><span style="font-family:courier new;"><br /></span></em></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"> ***</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">BUAT kita, sastra dan kesenian nyatanya kian terpinggirkan dari kehidupan berbangsa, bangsa yang katanya berbudaya. Rubrik sastra koran dan majalah sudah lama tersisih oleh iklan dan berita ekonomi. Anak sekolah lebih tertarik budaya pop ketimbang bersastra dan berkesenian. Kesusastraan dan kesenian bukan lagi bagian integral dan sosok internalisasi kepribadian anak sekolah kita.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Sekolah tidak mewajibkan sastra menjadi bagian kehidupan siswa. Mungkin di situ awal kerisauan elite bangsa, betapa majal ekspresi dan kepekaan hidup rata-rata anak dan masyarakat kiwari kita. Mungkin karena itu pula banyak produk pejabat tidak peka, kurang berempati, boleh jadi karena pendidikan kurang memberi ruang batin untuk membangun keelokan itu. Bila ada pejabat berdeklamasi, membaca puisi, itu cuma tugas seremonial belaka.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Persona penyair wajah arif kehidupan. Jarang terjadi puisi dan perang tampil dalam tubuh kalimat yang sama. Boleh jadi betul pesan Guru Besar Alois, dalam berpolitik kita memerlukan lebih banyak sentuhan "puisi" agar bangsa tidak tercerai-berai. Aspek puitis dalam kehidupan, bukan cuma ada pada sosok puisi sendiri, namun tercurah dalam kehidupan dengan spirit berpuisi. Puisi ada di mana-mana sudut kehidupan. Eloknya juga perlu hadir dalam setiap tampuk kepemimpinan.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Puisi adalah petuah, mantra, dan kehidupan sendiri. Puisi itu vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani, yang menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih santun dan beradab.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Sudah lama dunia internasional membangun puisi sebagai terapi (The International Association for Poetry Therapy). Banyak klub dan organisasi terapi puisi di dunia. Puisi sebagai obat stres bukan isapan jempol. Puisi menyimpan efek relaksasi (Dietrich von Bonin, Henrik Bettermann).</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">Dari studi yang sama terungkap efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, tetapi juga bisa mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni (International Journal of Cardiology 6/9/2002). Dengan puisi, temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"> ***</span></p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify; margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;">BERPUISI, bersastra, dan berkesenian harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidimensi kita diperburuk dan diperpelik timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, tetapi mengabaikan pembangunan <em>inner beauty</em> bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi, dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat berpolitik.***</span></p><p style="text-align: justify;margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><span style="font-family:courier new;"><br /></span></p><p style="margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "> </p><p style="text-align: justify;margin: 0px; line-height: 16.5px; color: rgb(51, 51, 51); background-color: rgb(255, 255, 255); "><strong><span style="font-family:courier new;">(Dikutip dari KOMPAS Rabu, 23-06-2004. Halaman: 5)</span></strong></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-17295398322225263972010-09-14T13:36:00.006+07:002010-09-14T14:50:07.044+07:00Karamel - Buku Puisi dan Ilustrasi Ping Homeric<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAobvRNekx6Zx__Ey6z54zZrPR17APydwR9idwbawMiCmG4U5JIA7I-7xEeNFZEGI3_1ekdegTJcgGi0uv3gwqAz7gsWuyNOq5aYzXAivgg7lkMkHqEHHzDBIBLvG9GDe4uhWZOWfqqUK5/s1600/Karamel-COVER-FINALMUKA.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5516655388440696258" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 241px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAobvRNekx6Zx__Ey6z54zZrPR17APydwR9idwbawMiCmG4U5JIA7I-7xEeNFZEGI3_1ekdegTJcgGi0uv3gwqAz7gsWuyNOq5aYzXAivgg7lkMkHqEHHzDBIBLvG9GDe4uhWZOWfqqUK5/s320/Karamel-COVER-FINALMUKA.jpg" border="0" /></a>KARAMEL,<br />Buku kumpupulan puisi cinta dan ilustrasi karya Ping Homeric<br />Editor: Kurniawan Junaedhie<br />Ilustrasi & Penata Letak: Ping Homeric<br />Perancang Sampul: Ping Homeric (Ilustrasi) , Margaret Hartono (Tipografi) dan Adam Benton (3D Rendering)<br /><br />Buku puisi ini menghimpun puisi2 cinta karya Ping Homerik. Ping Homeric lahir di kota Makassar (Ujung Pandang). Mengemari seni sejak kecil, terutama menggambar dan melukis. Waktunya sering dihabiskan membuat gambar-gambar kartun dari tayangan tivi dan buku bacaan anak-anak, tak ayal dia pun gemar membaca dan menulis. Semenjak remaja, dia mulai jatuh cinta pada puisi.<br /><br />Gelar sarjana seni diperolehnya dari Universitas Trisakti, Jakarta. Pada tahun 1992, Ping hijrah ke Beijing, China, untuk menekuni seni lukis tradisional China di Central Academy of Fine Arts. Saat itu, dia menyadari bahwa lukisan dan puisi (kaligrafi) dapat bersanding mesra dalam sebuah karya seni, saling memperkaya makna — pengertian yang lalu diterapkan di buku ini. Cinta akan seni dan desain, mendorong Ping mengambil program master di Savannah College of Art and Design di Georgia, USA. Sejak tahun 1999 hingga kini, Ping yang berprofesi sebagai perancang grafis, menetap di Chicago, USA, bersama istri dan dua anaknya. Waktu luang, sering diisinya dengan melukis, membuat karya ilustrasi dan menulis puisi.<br /><br />Karya-karya desain dan ilustrasi Ping telah banyak dipublikasikan ke dalam buku, majalah dan media elektronik. Demikian pula puisi-puisinya dapat dinikmati di Kompas Online, Harian Fajar dan Poetry.com.<br /><br />Karamel adalah buku kumpulan puisi Ping yang pertama. </div><div align="justify"></div><div align="justify">Simak salah satu puisinya:</div><div align="justify"><br />"Matamu"<br /><br /><br />matamu sampan<br />bulan terlelap di dalam<br />lentik bulu matamu, menari ilalang<br />di tepian, aku datang<br />mengail di jernihnya hatimu<br />-</div><div align="justify"></div><p></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-42719182214037958352010-09-11T12:28:00.008+07:002010-09-11T12:57:41.102+07:00Sajak Emas, 200 Puisi Sexy - Dimas Arika Mihardja<div align="justify"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5515527421062058930" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 210px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7tMEnpvGE75O0cwO4GNAczmQh0L0BXepbCeu9xF4apiWx9PxCJzKOhTFcQuKAzZFaqIQubgEYJihQQz9p52qzTYdURnDbH4JgS2Q-sxi68YCQ-WTJjCRpAfV6avVkXdWqOGLwza990kMk/s320/59313_137726012938900_100001045068059_216942_5713851_n.jpg" border="0" />Sajak Emas<br />200 Puisi Sexy<br />Kumpulan Puisi Dimas Arika Mihardja<br />Perancang sampul: Ardi Nugroho.<br />208 HAL + VIII. Rp. 50.000,-<br /><br /><br />Buku "SAJAK EMAS: 200 puisi <em>sexy</em> Dimas Arika Mihardja" ini dimaksudkan sebagai penanda bahwa pengarangnya masih terus bersetia di dunia penulisan kreatif puisi. Buku ini, juga tidak dimaksudkan sebagai buku puisi yang fenomenal, spektakuler, atau <em>best se</em>ller. Pengarang amat tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat "proyek rugi" secara finansial, tetapi "proyek besar" bagi kemanusiaan. <br /><br />Simak kata pengantar pengarangnya:<br /><br />"Selama kurang lebih 25 tahun karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang <em>sexy</em>. Bagi saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang <em>sexy. Sexy</em>? Ya, ke-<em>sex</em>y-an menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah ke-<em>sexy</em>-an secara batiniah. Nah, "apa pula ke-<em>sexy</em>-an yang bersifat batiniah ini?", mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang <em>sexy</em>.<br /><br />Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya.<br /><br />Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang <em>sexy</em> ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi." <em>(Lengkapnya lihat di buku)<br /></em>.</div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-79870099752759410532010-08-07T10:15:00.009+07:002010-08-09T08:27:06.442+07:00Bunga Rindu di Sandaran Bintang - Kump.Puisi Kwek Li Na<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFfkm4_Jf6rgGWrRDxPqkTQ3LGlO0fciGx2Y6iECvZbAf_Lz3f3KePxTNF6Gw8JWfrpk6E21l8-3rhqMYHrX00a62ijteJmZV8Sp9Rhxa3u2t_dA28SdE9L2SkhhL3AyNdEVSAIuEma02B/s1600/CvBungaRindu2AAAAA.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5503215430095734706" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 198px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFfkm4_Jf6rgGWrRDxPqkTQ3LGlO0fciGx2Y6iECvZbAf_Lz3f3KePxTNF6Gw8JWfrpk6E21l8-3rhqMYHrX00a62ijteJmZV8Sp9Rhxa3u2t_dA28SdE9L2SkhhL3AyNdEVSAIuEma02B/s320/CvBungaRindu2AAAAA.jpg" border="0" /></a>Bunga Rindu di Sandaran Bintang<br />Kumpulan Puisi Kwek Li Na<br />118 hal + X<br />Cetakan Pertama, Agustus 2010<br /><div align="justify">Editor: Kurniawan Junaedhie</div><div align="justify">ISBN: 978-602-96333-7-5<br /><br />Saya menemukan nama Kwek Li Na hampir setahun lalu ketika saya sedang menyiapkan buku antologi puisi perempuan yang menulis puisi di Facebook. Siapa Kwek Li Na? Nama ini terus terang saja nyaris jarang dipercakapkan dalam perbincangan sastra di kota saya, Jakarta. Tapi orang ini, ternyata sangat produktif menulis puisi di halaman Facebook. Siapa Kwek Li Na?<br /><br />-<br />Dalam blognya, ia menulis: Saya bermarga Kwok (baca dalam bahasa Mandarin) atau Kwek (baca dalam bahasa Hokkien). Bernama Li Na. Dalam bahasa mandarin penulisannya 郭 莉 娜 . Yang berarti, sekuntum melati yang putih, indah, harum mewangi. Kenapa bukan Mawar? Mengutip pepatah, ia mencoba menghibur diri bahwa, wanita tak perlu secantik mawar, cukuplah secantik melati yang tak berduri.<br />-<br />Dia lahir di Semitau, Kalimantan Barat, dengan nama panggilan, A Ling, nama kecil, sekaligus nama yang dikenal keluarga dan teman-teman dekatnya. Dimanakah Semitau? Kalau kita menyimak literatur, maka daerah itu merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Bahasa aslinya, adalah bahasa Dayak. Orangtuanya sendiri berbahasa Khek dan di rumah ia lebih banyak berbahasa Dayak Kapuas Hulu. Dengan demikian, ketika ia menulis puisi dalam bahasa Indonesia, bisa dipastikan ia menulis puisi tidak menggunakan bahasa ibunya.<br />-<br />Jadi darimana A Ling punya kecakapan menulis puisi, tak ada data yang jelas, misalnya apakah ia mewarisi bakat seni dari orangtuanya atau ada kerabatnya yang jadi seniman. Ia hanya mengatakan dalam blog itu, bahwa “saya suka membaca apa saja sebagai ilmu dan pengetahuan, membuat dan mendengar kata-kata mutiara, puisi, sangat menyenangi dan mengetahui, hal-hal tentang kesehatan, kecantikan, fashion dan juga perjalanan-perjalanan ataupun tempat wisata yang menarik…” Jadi, boro-boro kita bisa menemukan jawaban, kenapa ia bisa menulis puisi dalam bahasa Indonesia sementara ia juga saat ini tinggal bersama suaminya di Taiwan.<br />-<br />Apakah ini berarti ia menulis puisi dengan bermodalkan bakat alam? Tak jelas. Yang pasti, bakat kepengarangannya, cocok dengan bunyi sebuah ramalan yang dibacanya (kemudian dicatat baik-baik di halaman FB-nya). Menurut ramalan itu, ia cocok di dalam pekerjaan sebagai pengarang, atlit, penerbit, serta dapat pula sebagai mubaliq. Perhatikan, kata ‘pengarang’ itu.<br />.<br />Dan yang jelas menakjubkan, sebagai orang kelahiran Semitau, yang menyelesaikan D3 di ABA di Pontianak, sempat merantau ke Brunai Darusalam sebagai TKI (hanya sebentar) dan tinggal di Taiwan, bahasa Indonesianya memang terbilang cukup memadai, meski tentu saja vocabulary-nya tidak sekaya orang yang hidup dengan tradisi berbahasa Indonesia. Tapi justru di situlah keunggulan Kwek Li Na sebagai penyair berbahasa Indonesia. Kata, frasa, majas dan metafornya bersahaja. Tak ada kesan bermegah-megah dalam membangun imaji-imaji puitik dengan kata-kata arkaik atau sebaliknya kata-kata dahsyat yang melambung-lambung seperti halnya banyak dilakukan penyair modern masa kini. Pesannya lugas, tidak ruwet, dan kaya dengan perumpamaan-perumpamaan cerdas yang mengingatkan saya pada puisi-puisi Cina klasik.<br />-<br />Buku ini memuat sebanyak 107 puisi Kwek Li Na. Melalui buku ini diharapkan Anda bisa lebih dalam mengenali anak kelahiran Semitau itu secara lebih utuh sebagai penyair.<br />-<br />Selamat membaca!<br /><br />Jakarta, 17 Agustus 2010<br /><br />[1] Penyunting buku, dan penyair.<br />Kata pengantar Kurniawan Junaedhie dalam buku kump. puisi "Bunga Rindu Di Sandaran Bintang" karya Kwek Li Na </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-72618160848794937792010-08-05T01:46:00.012+07:002010-08-05T02:00:30.430+07:00Mata Hati - Kumpulan Foto & Puisi Agustus Sani Nugroho<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOEoGG5Wbpz52cS_iplB53j0eKD9jR5BWNVRqrz8HMZmT1G5mMj6GNLsTMuHHOZPr5ZVn5h5mcf4rbBqrgODG1zx9ZHB6S00B66zCRyXd_jybY4viWb9YAo1zKTVGdZR_trFloMpIpFF5b/s1600/mata-hati-LASTMUKA.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5501628772541752050" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 233px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOEoGG5Wbpz52cS_iplB53j0eKD9jR5BWNVRqrz8HMZmT1G5mMj6GNLsTMuHHOZPr5ZVn5h5mcf4rbBqrgODG1zx9ZHB6S00B66zCRyXd_jybY4viWb9YAo1zKTVGdZR_trFloMpIpFF5b/s320/mata-hati-LASTMUKA.jpg" border="0" /></a>Mata Hati,<br /><div align="justify">Kumpulan Foto & Puisi </div><div align="justify">karya Agustus Sani Nugroho. </div><div align="justify">15,5, x 21 cm</div><div align="justify">260 halaman kertas AP 120 gr</div><div align="justify">Hardcover/ Lux</div><div align="justify">ISBN: 978-602-96333-9-9</div><div align="justify">Agustus, 2010</div><br /><div align="justify"></div><br /><div align="justify">Sepanjang tahun 2007 hingga Juni 2010, Agustus Sani Nugroho, -- ayah tiga anak, suami seorang dokter ahli anestesi, yang sehari-hari adalah <em>corporate lawyer</em> dan bos untuk sejumlah usaha bisnis di Jakarta, yang mengaku bukan fotografer profesional atau penyair-- telah mengembara ke segala penjuru tanah air, juga ke seantero belahan dunia lain, baik untuk urusan bisnis maupun untuk urusan pribadi. Seperti halnya pengembara, ia mencoba mencatat dan mengabadikan banyak hal yang ditemuinya. Tapi tak seperti fotografer lain atau penulis perjalanan umumnya, Nug –begitu ia biasa disapa-- lebih banyak menggunakan mata hati ketika membidikan kameranya ke berbagai obyek. Ia bahkan tak perduli mengenai rana, bukaan lensa, diagfragma dan pernik-pernik teknis lainnya dalam memotret. Hasilnya, hampir ribuan foto, yang sebagian kecil saja (219 foto) diabadikan dalam buku ini.<br /><br />Maka jangan kaget bila nanti kita akan melihat hal-hal yang sering kita lihat dan saksikan tetapi muncul di buku ini dengan pemaknaan baru. Seperti, foto sayap pesawat yang ia bidik di atas langit Tokyo, aura berbeda di sudut kota Munich, percik air yang menyembur dari boat yang ditumpanginya di Sungai Siak, bangunan tua di Amsterdam, senjakala di jalan tol Jagorawi, rintik hujan di teras rumah, butir air di kaca pesawat, lampu jalanan di Singapura, marka jalan di Roma, sungai di Zurich, detil Big Ben di London, kastil megah di Edinburgh dan puluhan foto lainnya yang unik, dramatis, kocak, puitik dan menggelitik. </div><div align="justify"><br />Ia sendiri rupanya percaya bahwa gambar itu sudah menyimpan 1000 makna, sehingga ia tak memasang caption atau keterangan foto. Namun demikian, ia menambahkan selarik puisi dalam setiap fotonya. Itu rupanya dimaksudkan agar kita –penikmat bukunya--, tak hanya sekadar menikmati ‘sekadar panorama’ oleh-oleh perjalanan sang tokoh ke segala sudut bumi, tetapi juga merenungi moment-moment penting itu. Hasilnya adalah buku yang kita pegang sekarang ini: "Mata Hati", sebuah buku kumpulan foto berpuisi atau sebuah buku kumpulan puisi dengan foto. </div><div align="justify">.</div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify">Bagi para penggemar keindahan, inilah ‘album foto’ yang menyajikan ‘informasi’ dengan cara pandang berbeda. Bagi penggemar sastra, bisa jadi ini juga cara baru untuk menikmati sastra dengan cara lebih menghibur. Sedang bagi penggemar fotografi, ini juga album foto yang menarik untuk dikaji. </div><div align="justify">.</div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify">Pemasangan foto dibagi per daerah atau lokasi. Diawali dengan panorama Jakarta, kemudian disusul panorama-panorama lain di mancanegara, dan diselang-seling dengan panorama dalam negeri dan begitu seterusnya. Bagi peminat foto yang serius, disediakan indeks khusus mengenai hal-hal teknis foto. Pendeknya, asyik.</div><br /><div align="justify"></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-26092955328429824602010-07-20T00:43:00.017+07:002010-07-26T01:27:58.312+07:00Senandoeng Radja Ketjil - Antologi Puisi 15 Penyair Angkatan 1970 dan 1980-an<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiji_ruKQbXEtqMbrNvvSi6fV2_L-bTfJ3G6IzbhuqrsrCcsZXgOP-YQb65az5ChYBaW47DrzUcABzBuePXsSqubqBAfjBtkCKikab09UA9aZFNqzr_jsktCwKf_XbE9IMLibJRySWh-1tP/s1600/COVERMUKAPUNGGUNG25JULI.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5497909487864869490" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 241px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiji_ruKQbXEtqMbrNvvSi6fV2_L-bTfJ3G6IzbhuqrsrCcsZXgOP-YQb65az5ChYBaW47DrzUcABzBuePXsSqubqBAfjBtkCKikab09UA9aZFNqzr_jsktCwKf_XbE9IMLibJRySWh-1tP/s320/COVERMUKAPUNGGUNG25JULI.jpg" border="0" /></a>BEREDAR AKHIR AGUSTUS 2010:<br /><strong>SENANDOENG RADJA KETJIL,</strong><br />ANTOLOGI 15 PENYAIR<br /><br /><div align="justify">Buku antologi puisi yang menghimpun hampir 150 puisi karya 15 penyair yang menulis di tahun 1970 dan 1980-an. </div><div align="justify"></div><div align="justify">Ke-15 penyair itu adalah: ADRI DARMADJI WOKO, B. PRIYONO, DHARMADI, DHARNOTO, EDI SEDYAWATI, EKA BUDIANTA, HANDRAWAN NADESUL, HENDRY CH BANGUN, KURNIAWAN JUNAEDHIE, LINDA DJALIL, N. SYAMSUDDIN CH HAESY, OEI SIEN TJWAN, PRIJONO TJIPTOHERIJANTO, RAHADIA ZAKARIA dan WAHYU WIBOWO. Kaver rancangan: AANT S KAWISAR.</div><div align="justify">.</div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify">Apa komentar pengamat sastra MAMAN S MAHAYANA tentang buku puisi ini? "Mencermati nama-nama penyairnya, tak pelak lagi, mereka orang-orang mapan. Kiprahnya dalam peta perpuisian Indonesia, juga sudah tak asing lagi, bahkan sebagian besar telah ikut mewarnai dinamika kesusastraan Indonesia tahun 1980-an. Jadi, sesungguhnya mereka, secara sosial—ekonomi, bukan kelompok marjinal dan tak pernah kehabisan pekerjaan. Bahkan, beberapa di antaranya, para pencipta pekerjaan dan membaginya kepada orang lain lantaran kelebihan pekerjaan. Mereka juga tergolong penyair senior. Penyair yang hampir semuanya lahir lewat seleksi alam yang sangat ketat dan melalui persaingan yang begitu angkuh. Jika di antara mereka ada yang bermain di facebook, boleh jadi itu sekadar menunjukkan kemurahan hatinya untuk bertegur sapa dengan generasi yang datang kemudian. Bukankah sebagian besar dari mereka menjadi penyair, jauh sebelum facebook menjadi wadah penampungan aneka curhat yang seolah-olah ditulis dalam bentuk puisi? </div><div align="justify">.<br />Sekarang boleh kita bertanya: apa maunya orang-orang mapan ini berhimpun dan bersepakat menerbitkan puisi? Seolah-olah, mereka seperti hendak kembali ke masa lalu dan memelihara nostalgia tahun 1980-an ketika kiprah mereka menulis puisi diyakini sebagai panggilan berkebudayaan. Jangan-jangan, mereka ingin menghadirkan lagi popularitas yang kini disalip generasi pascareformasi! Tentu saja tidak. Bukankah nama-nama mereka, hampir semuanya sudah tercatat dalam sejarah sebagai generasi penting dalam peta puisi Indonesia tahun 1980-an. Bukankah dalam perjalanan sejarah apa pun, termasuk sejarah kesusastraan Indonesia, tak ada persoalan dengan urusan salip-menyalip, lantaran itu sudah menjadi keniscayaan. Bukankah lagi, predikat penyair atau sastrawan, melekat seumur hidup selama ia terus berkarya? Jadi, bukan perkara popularitas. Lalu, begitu pentingkah puisi bagi mereka, hingga memaksa mereka “turun gunung”. Setelah sekian lama seperti berdiam lantaran mengurusi pekerjaan lain atau kegiatan lain yang secara materi lebih menjanjikan, tiba-tiba mereka menyeruak kembali dan ikut mewarnai dinamika kesusastraan kita dewasa ini? </div><div align="justify">.<br />Itulah misteri puisi! Magnetnya sering kali lebih menimbang perkara rohani, ketimbang sesuatu yang artifisial, yang bisa dihitung secara matematis. Secara materi, sangat boleh jadi, puisi (di Indonesia) tak dapat mengundang keuntungan finansial, bahkan lebih mungkin, malah berkorban untuk itu. Jika begitu, untuk apa mereka bersusah payah (membuang waktu, tenaga, dan materi), padahal puisi adalah reputasi masa lalu mereka? Untuk menjawabnya, saya kutip pernyataan Michel Foucault yang menyitir gagasan Pascal: “Manusia pastilah demikian gilanya, sehingga –kalaupun ia tidak gila—tetap dianggap gila dari sudut pandang kegilaan yang lain.” </div><div align="justify">.</div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify">Tebal: 260 halaman, kertas bookpaper 90 gr., buku antologi puisi ini diterbitkan atas kerjasama Penerbit KosaKataKita dengan PT Jamsostek.<br />-</div><div align="justify"></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-2894267949659216792010-07-14T02:13:00.002+07:002010-07-14T02:15:32.963+07:00Catatan Reformasi Merdeka Selatan - Prijono Tjiptoherijanto<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBIhNw7jAK3UvLf4EWN1utwNzh9CjBgs7u63p68w58DwHo7KgV2OQMsNLIXYAAAwYeEmSPL4BfgS7ZwXTu71UTvh_177yKnAvNLKhv1Xti68bca1esRgSn9pgf-BM9ekVTFT7uwmabf4_t/s1600/bukumaspri.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493471396320268802" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 209px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBIhNw7jAK3UvLf4EWN1utwNzh9CjBgs7u63p68w58DwHo7KgV2OQMsNLIXYAAAwYeEmSPL4BfgS7ZwXTu71UTvh_177yKnAvNLKhv1Xti68bca1esRgSn9pgf-BM9ekVTFT7uwmabf4_t/s320/bukumaspri.jpg" border="0" /></a><strong>BACAAN POPULER:</strong> <div> </div><div>CATATAN REFORMASI MERDEKA SELATAN<br />Prijono Tjiptoherijanto<br />142 hal + viii<br />ISBN: 978-602-96333-9-9<br /><br />Buku ini memuat 32 tulisan Prijono Tjiptoherijanto berupa opini dan hasil permenungannya yang kritis terhadap situasi dan kondisi tanah air selama ini, khususnya dalam periode 10 tahun terakhir.<br /><br />Tulisan Prijono –yang disebutnya sebagai ‘catatan-catatan— ini, pada dasarnya membahas berbagai masalah, mulai masalah ekonomi, reformasi, politik dan masalah-masalah humaniora lainnya. Yang bila diringkas, sedikitnya ada tiga bidang besar, yaitu catatan politik, catatan reformasi dan catatan lain-lain.<br />Sebagian sudah pernah dimuat di media massa antara tahun 2008 sampai Juni 2010. Dan sebagian besar juga ditulis tak hanya ketika ia berada di Indonesia juga dalam lawatan tugas kerja ke berbagai negara. </div><div><br />Tak salah pula bila judul buku ini adalah “Catatan Reformasi Merdeka Selatan”, karena catatan-catatan ini memang ditulis semasa reformasi, dan Istana Merdeka yang terletak di Jalan Merdeka Selatan Jakarta bukan kebetulan memang pernah menjadi tempat pengabdian pengarangnya. Pengalamannya dalam menduduki berbagai posisi dan jabatan penting baik di pemerintahan maupun di BUMN, tentu ikut memberi warna dan bobot tersendiri pada catatan-catatan yang ditulisnya.<br /><br />Bagi mereka yang selama ini suka membaca ‘catatan’ Prijono di media massa, buku ini niscaya akan lebih menghadirkan sosok pemikirannya secara lebih utuh. Pembaca tidak hanya melihat sosok Prijono yang ekonom yang kritis tapi kaku, tetapi juga akan melihat sosok seorang budayawan yang cerdas tapi humoris.<br /><br />Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto adalah guru besar ekonomi pada Universitas Indonesia. Meraih gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Pemerintahan dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1973. Kemudian, pada tahun 1977, memperoleh gelar M.A (S2) di bidang ekonomi dari University the Philippines. Lalu, tahun 1981 menyelesaikan program S3 dan meraih gelar Doktor (Ph.D) di bidang ekonomi dari University of Hawaii dengan judul disertasi “The Economic Benefit of Tuberculosis Control Program in Indonesia: Effect of Chemotherapy.” Ia juga dikenal sebagai penyair. ***</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-29929389048253554392010-07-14T02:10:00.002+07:002010-08-13T00:20:27.866+07:00Panduan Klinis: Kardiak Anestesia - Dr. Cindy E. Boom, dr., SpAn., KAKV.,KAP<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-wOspivhuqtnkuAJ6SsxGWtp6YygL-fbKE-dPmHKkeJqSzUFoN3pWZt_VljSRdkyu6x6w3ejpwHMcOvz2K1f-lYTI0ag-V3eQwl8IPfMJmGyxWRKfnoWg2LJiY7IPXHlOwTnL19qMonxg/s1600/cover-print-film-1FB.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493470824898454994" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 186px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-wOspivhuqtnkuAJ6SsxGWtp6YygL-fbKE-dPmHKkeJqSzUFoN3pWZt_VljSRdkyu6x6w3ejpwHMcOvz2K1f-lYTI0ag-V3eQwl8IPfMJmGyxWRKfnoWg2LJiY7IPXHlOwTnL19qMonxg/s320/cover-print-film-1FB.jpg" border="1" /></a><strong>PANDUAN KLINIS</strong><br /><br /><div>KARDIAK ANESTESIA<br />Dr. Cindy E. Boom, dr., SpAn., KAKV.,KAP<br />Juni 2010<br />198 hal.<br />ISBN 978-602-96333-2-0<br /><br /><br /><strong>Resume buku:</strong><br />Buku kardiak anestesi ini disusun dalam gaya bahasa yang mudah dicerna dan tidak rumit dengan tujuan untuk menggaris bawahi dan mengulas permasalahan yang fundamental dalam bidang kardiak anestesi. Ilustrasi-ilustrasi yang ditampilkan bertujuan agar pembaca lebih mudah memahami topik yang sedang dibicarakan. Tabel-tabel yang dimuat di dalam buku ini berisi ringkasan penting berbagai hal yang berhubungan dengan kardiak anestesi, daftar obat-obatan beserta dosis yang digunakan dalam melakukan anestesi pada pasien dengan kelainan jantung untuk operasi jantung maupun non jantung, serta berbagai algoritma yang menjadi panduan dalam tata laksana perioperatif pasien dengan kelainan jantung.<br /><br />Buku yang padat ini berisi panduan klinis praktis yang bertujuan untuk membantu para spesialis kardiak anestesiologi, residen serta fellow kardiak anestesiologi dan bedah thorakardiovaskular dalam melakukan tata laksana perioperatif bedah kardiovaskular. Dilain pihak tidak tertutup kemungkinannya buku ini untuk dapat dengan mudah dimengerti oleh para perawat, perfusionis dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja dalam lingkup bidang kardiak anestesi.<br /><br />Buku ini akan sangat bermanfaat pula bagi spesialis anestesiologi yang melakukan praktik anestesi umum. Beberapa bab dalam buku ini, membahas banyak hal yang cukup penting bagi seorang spesialis anestesiologi yang melakukan praktik anestesi pada pasien dengan kelainan jantung untuk operasi non jantung. Contohnya dalam bab yang membahas tentang penilaian preoperatif pasien dengan kelainan jantung, monitoring hemodinamik, pasien dengan gangguan kardiovaskular yang akan menjalani operasi non-kardiak, algoritma penilaian resiko dan tatalaksana pasien dengan kelainan kardiovaskular, penanganan hipertensi pulmoner, manajemen pascaoperatif pasien dengan kelainan jantung, serta daftar beserta dosis obat-obatan yang sering dipakai pada tatalaksana anestesia pasien dengan kelainan kardiovaskular.***</div><div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-84652154544896811702010-07-14T01:54:00.002+07:002010-07-14T01:58:05.411+07:00Chapters of Life: From Nothing Into Something - Fonny Jodikin<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS02PfHaRv3QJaTGHwzJjieRYYUbGbMzPUYd0hlPRDa0A6Hvv72p1hOrBBXKB40obolhDS9t76fdREXzdUzcho9yMTdiL86kez5omM76o2YK2fFqGGb1ZZVazTWAkUUUuZwSVhnKFPDOmH/s1600/30466_116768385034663_100001045068059_109240_3812470_n.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493467004698838290" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 193px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS02PfHaRv3QJaTGHwzJjieRYYUbGbMzPUYd0hlPRDa0A6Hvv72p1hOrBBXKB40obolhDS9t76fdREXzdUzcho9yMTdiL86kez5omM76o2YK2fFqGGb1ZZVazTWAkUUUuZwSVhnKFPDOmH/s320/30466_116768385034663_100001045068059_109240_3812470_n.jpg" border="0" /></a><strong>POPULER:</strong><br /><br />CHAPTERS OF LIFE: FROM NOTHING INTO SOMETHING,<br />Karya FONNY JODIKIN<br />184 hal + xii.<br /><br />Chapters of Life adalah kumpulan kisah yang dilihat, didengar, dipikirkan, dirasakan, dialami, dan dituliskan oleh penulis – Fonny Jodikin. Tentunya, dengan menambahkan imajinasi di dalamnya. Kisah-kisah ini awalnya ditulis sebagai bentuk perenungan atau refleksi pribadi penulis sebagai bentuk syukur pula atas inspirasi yang diizinkan untuk singgah di dalam hatinya.<br /><br />Chapters of Life, babakan kehidupan, begitulah penulis senang menyebutnya. Karena bagi penulis, kehidupan itu sendiri adalah bab demi bab yang menjadikan buku kehidupannya sempurna. Satu kejadian dan kejadian lainnya merupakan kepingan <em>puzzles</em> yang menjadikan kehidupannya utuh. Hanya Yang Kuasa yang mampu melihat segala sesuatunya secara sempurna dan penulis berusaha menangkap setiap sinyal inspiratif yang dilemparkan oleh keadaan sekitar, dari hal-hal kecil yang terkadang remeh dan sederhana yang biasanya terlewatkan begitu saja, dan tetap berusaha menemukan pembelajaran di dalamnya. Sembari terus mempertahankan originalitasnya untuk terus menuliskan kebaikan dan hanya kebaikan, satu per satu tulisan ini memenuhi blog penulis dengan judul sama: Chapters of Life di <a href="http://fjodikin.blogspot.com/">http://fjodikin.blogspot.com/</a><br /><br />Silakan membaca, merenungkan, menangis dan tertawa bersama dalam kumpulan kisah-kisah ini. Semoga kisah-kisah ini membawa sedikitnya harapan bahwa hidup dalam segala kesukarannya tak henti tetap menawarkan keindahan yang mungkin seolah tersembunyi. Tetapi ia --keindahan itu-- tetap ada di sana.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-40728365922060433952010-07-14T01:49:00.002+07:002010-07-14T01:54:35.701+07:00Setitik Embun Bagi Inspirasi Jiwa - Kumpulan Kisah Kehidupan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHHOuJrkurWF3JofI0Qgsoo_lC1KHCWiw3afWYwTy00Q3PkWUjPjs4xTO1SwGDlugu2DFJHcpfpfDTugfJzzsuFyQYZZRlfSFZNuwfofEmPF4bH_nUgzN0Rjz5-RCVTuXZbgRXaVEA5DgH/s1600/seitikembun.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493466052614677778" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 214px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHHOuJrkurWF3JofI0Qgsoo_lC1KHCWiw3afWYwTy00Q3PkWUjPjs4xTO1SwGDlugu2DFJHcpfpfDTugfJzzsuFyQYZZRlfSFZNuwfofEmPF4bH_nUgzN0Rjz5-RCVTuXZbgRXaVEA5DgH/s320/seitikembun.jpg" border="0" /></a><strong>POPULER:</strong><br /><br />SETITIK EMBUN - BAGI INSPIRASI JIWA.<br />196 HAL + XI.<br />Editor: Caecilia Triastuti, Caecilia Damayanti, Yunita.<br /><br />Kumpulan kisah kehidupan dari berbagai latar belakang dan pengalaman manusia yang mencoba merekamnya dalam untaian kata. Kumpulan ini lahir dari kepedulian kepada kehidupan, oleh kehidupan, dan untuk kehidupan. Para penulisnya bukan penulis profesional, bukan penulis berpengalaman, sekalipun beberapa di antaranya memang sedang merintis untuk menjadi profesional. Keindahan karya ini terletak dalam kerinduan untuk menyayangi kehidupan dalam semangat kebersamaan, yang ditunjukkan oleh semua yang berkontribusi di dalamnya. Mulai dari orang muda, ibu rumah tangga, rohaniwan, profesional, hingga seorang gadis kecil berumur sepuluh tahun yang melukis ilustrasi untuk halaman-halaman antar bab di dalam buku ini.<br /><br />Semua hasil penjualan buku kisah-kisah inspiratif ini akan digunakan untuk membiayai pembelian dan distribusi buku-buku yang bermutu bagi anak-anak kurang mampu di pedalaman di tanah air, melalui kelompok Vidya Sanggraha, yang aneka aktivitasnya dapat diakses di: http://vidyasanggraha.blogspot.com/dan di Facebook yaitu <a href="http://www.facebook.com/vidya.s">http://www.facebook.com/vidya.s</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-77840530792125972082010-07-14T01:45:00.002+07:002010-07-14T01:49:06.611+07:00Rahim Kata-Kata - Kumpulan Puisi Susy Ayu<img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493464682341237362" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 210px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-jMeNImrsVS86gvpdoqRFRvwIAZouyS1yfGZOmLDCMZEW5u7TBFN8bNlnT-khbr_fa52XylqjCknZJqFWKuJ3ecHu2fT8-I1cq0YGt5P6QSSNl0RHy3HhyWWwZ5VM9gm2TTAvcQkSfeQm/s320/coverRKK11+juli.jpg" border="0" /><strong>KUMPULAN PUISI:</strong><br /><div></div><br /><div>RAHIM KATA-KATA, kump. puisi Susy Ayu. </div><div>58 hal + viii. </div><div>ISBN: 978-602-96333-7-5. </div><div>Editor: Kurniawan Junaedhie. </div><div>Endorser: Maman S Mahayana, Acep Zamzam Noer & Kurnia Effendi. </div><br /><div><br />Penyair perempuan Indonesia bertambah lagi dengan hadirnya buku yang menghimpun sekitar 46 sajak karya Susy Ayu ini. Kekuatan puisi-puisi Susy Ayu terletak pada daya serapnya terhadap ilmu pengetahuan dan penghayatannya pada kehidupan. Puisi-puisi Susy mengajak pembaca berkenalan dengan Putri Pembayun, Dewi Drupadi, Maria Magdalena, Hercules, Old Shuterhand, dan seterusnya. Susy Ayu sangat ahli membuka dialog melalui celah-celah referensi seperti itu. Tak kurang sastrawan Eka Budianta mengakui, dengan puisi buku ini, Susy telah membuktikan kata-kata dapat menciptakan jagad tersendiri untuk berbagi. Susy dengan bakat dan intelektualitasnya telah membagikan berbagai aspirasi melalui puisinya. Sementara itu penyair Acep Zamzam Noor, melihat dalam berpuisi Susy bukan sekadar merangkai kata tapi ada kesadaran untuk memberi muatan makna. Menurut Kritikus sastra Maman S Mahayana “Di sana sini, dalam, buku ini ada main-main yang serius, ada kenakalan dalam kesantunan, ada perlawanan yang tersimpan dalam kesetiaan.” Tak kurang penyair dan cerpenis Kurnia Effendi memuji, dalam berpuisi, Susy telah melejit dari teman-temannya.***<br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-32822375985111974862010-07-14T01:41:00.003+07:002010-07-14T01:45:21.852+07:00Kabut Pantai Anyer - Novel Anny Djati W<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbT5XpIV9Kzy4iTEO7c8XN49jdgwtu1egsuzhsT6JL6FOEYJ_g8TBsG7k1OM9nabQ7tqdSgCfjJAKMGgIC02TlOy6yOhYU1RMMHsdP4f3h2nBKDWbU0asRmC5O5sZuH2ZMr9QEt9WVyi88/s1600/KABUT-PANTAI-ANYER27FB.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493463581313915138" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 220px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbT5XpIV9Kzy4iTEO7c8XN49jdgwtu1egsuzhsT6JL6FOEYJ_g8TBsG7k1OM9nabQ7tqdSgCfjJAKMGgIC02TlOy6yOhYU1RMMHsdP4f3h2nBKDWbU0asRmC5O5sZuH2ZMr9QEt9WVyi88/s320/KABUT-PANTAI-ANYER27FB.jpg" border="0" /></a><strong>NOVEL:</strong><br /><br />KABUT PANTAI ANYER, novel thriller<br />karya Anny Djati W<br />270 hal.<br /><br /><br /><strong>Sinopsis:</strong><br />Atila, perempuan lajang 27 tahun mengalami nasib nahas secara beruntun. Adik lelakinya hilang ditelan gelombang Pantai Anyer. Dua tahun kemudian ayahnya tewas dalam kecelakaan maut di jalan tol. Belakangan, diketahui kedua kasus itu adalah serangkaian kejadian yang direkayasa. Ayah dan adiknya telah menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang.<br /><br />Apa motivas pembunuhan berantai ini?<br /><br />Siapa pembunuhnya?<br /><br />Atila pun mencurigai orang-orang yang ada di sekelilingnya, termasuk tunangannya bahkan ibunya sendiri.<br /><br />Mampukah AKP Rusdy Baharudin bersama anak buahnya membongkar apa motifasi dan siapa pembunuhnya?Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-89625783304533011842010-07-14T01:37:00.001+07:002010-07-14T01:40:06.868+07:00Raup Untung dengan Jual Diri - Femikhirana<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3fOxBfXHUqYPX2Pick6cmBvBFbzJP550KOAvVSSNMEWu9mC_Jrp1jqmBB-eDQ150M5HZqM9Al9CIeFHPIi6qTQOG5eXXqSaPWdwVoIIENR0Ik-T1wJX-hXyENPrhvXt2h7kTWufinqi7-/s1600/30596_107648579279977_100001045068059_61569_7702900_n.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493462234235198322" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 214px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3fOxBfXHUqYPX2Pick6cmBvBFbzJP550KOAvVSSNMEWu9mC_Jrp1jqmBB-eDQ150M5HZqM9Al9CIeFHPIi6qTQOG5eXXqSaPWdwVoIIENR0Ik-T1wJX-hXyENPrhvXt2h7kTWufinqi7-/s320/30596_107648579279977_100001045068059_61569_7702900_n.jpg" border="0" /></a><strong>MARKETING:</strong><br /><br />RAUP UNTUNG DENGAN JUAL DIRI<br />Karya: Femikhirana<br />Cetakan Pertama, Mei 2010<br />Perancang Sampul: Imagination Project Studio<br /><br /><strong>KOMENTAR PEMBACA:<br /></strong>Marketing dan internet adalah entitas yg begitu lapang. Femi tak berusaha untk mempersempitnya; pikiran kita yang coba diperluasnya melalui buku ini. Well done, Fem! <em>(Donny Verdian. Blogger, New South Wales, Australia)<br /></em><br />Buku ini melihat marketing dari perspektif berbeda. Siapa saja bisa melakukan marketing, begitu kata buku ini. Ditulis oleh seorang wirausaha di bidang pemasaran sekaligus dikenal sebagai penulis fiksi, tak syak membuat buku marketing yang kedengarannya seram, terasa menjadi enak dan asyik dipahami serta mudah dipraktikkan. Saya termasuk yang terinspirasi oleh buku ini.<em> (Kurniawan Junaedhie. Penyair, penulis, dan pengusaha, Serpong- Tangerang)<br /></em><br />Femi menjadi "Cak Man" di dunia nyata. Menjual yang biasa dengan customized dan membuat pembacanya merasa istimewa. <em>(G. Lini Hanafiah. Ibu rumah tangga, penulis, jurnalis, mengelola komunitas Yuk Nulis!, Bekasi)<br /></em><br />SMOOTH marketing adalah frame of thinking, sebuah kerangka berpikir dan bekerja sangat powerful untuk diterapkan oleh seorang pemula sekalipun. Kerangka ini mudah untuk dipraktikan dan tidak berbelit-belit. Femi menggunakan bahasa yang sangat mengalir dan mudah dimengerti, dan membuat kita tidak sabar untuk mencobanya <em>(Ronald Sipahutar. Moderator Marketing Club, Jakarta)<br /></em><br />Femi sendiri yang menularkan ‘Smooth Marketing-nya’ pada saya. Saya ketagihan untuk terus belajar dan terjun praktik ke lapangan di dunia luas tak bertepi: dunia virtual. <em>(Fonny Jodikin, ibu rumah tangga, penulis, Vietnam)<br /></em><br />Tantangan terbesar buat seorang professional marketer adalah bisa "menjual dirinya". Namun dibutuhkan tips dan trik jitu agar anda tampil menawan di hadapan user atau calon atasan. Femi mengupas tuntas semuanya di buku yang "enak gila" ini. Wajib dibaca oleh profesional yang punya penyakit gak pede dengan dirinya sendiri. Selamat menikmati <em>(Ken Yulian, Brand Advocate & Moderator Marketing Club, Surabaya)<br /></em><br />Pasar terus berubah, konsumen semakin pintar dan fenomena social media adalah realita bisnis saat ini. "Smooth marketing" dan power of community dalam buku ini menyadarkan kita betapa pentingnya membuat perbedaan dan menciptakan nilai bagi kesuksesan dalam dunia bisnis dan pemasaran. Everybody must be a marketer.<em> (Krisna Putra Darma, Young entrepreneur and Personal Business Coach, Jakarta). </em>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-48242039479914096162010-07-14T01:33:00.002+07:002010-07-14T03:47:11.880+07:00Tarian Ilalang - Antologi 10 Penyair Editor Ira Ginda<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIs7hyphenhyphennoG2v57Tr2YxZG5rDtppa8VHNtK_ZOS-1hOY4qi66AcXuX_8Ms9sbpvLsG85m7L9yy_ArIiURCsuUxexbOxnqwIOu77OZ-2DSPB1uCppAyzdswZ0U4oFgTpkr_lu5oF3MzacdshU/s1600/29930_106068922771276_100001045068059_52226_5998110_n.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5493461252694416658" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 229px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIs7hyphenhyphennoG2v57Tr2YxZG5rDtppa8VHNtK_ZOS-1hOY4qi66AcXuX_8Ms9sbpvLsG85m7L9yy_ArIiURCsuUxexbOxnqwIOu77OZ-2DSPB1uCppAyzdswZ0U4oFgTpkr_lu5oF3MzacdshU/s320/29930_106068922771276_100001045068059_52226_5998110_n.jpg" border="0" /></a><strong>PUISI:</strong><br /><br />TARIAN ILALANG<br />Antologi 10 Penyair: Adrian Kelapa, Arther Panther Olli, Athan Wira Bangsa, Bagus Prana, Faris Al Faris, Geg Neka, Ira Ginda, Joesefhine Zejoe, Lina Kelana dan Windy Aurora. Editor: Ira Ginda.<br />106 hal. + V.<br />Diterbitkan oleh Kutubuku Sampurna, Jakarta.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-19387029966563945572010-07-11T22:49:00.004+07:002010-07-11T23:05:20.738+07:00Perempuan dalam Sajak - Antologi 9 Penyair Perempuan Indonesia<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOeCvpOBBMqkrijqK-OX8to2DJ0udyIOArn_pIDoEIemzHqPmSG8_wNGGg6rrFZbAoUI08hOfI_p-l2yKkG_86j0Oa0EC-heJ3plGYusxw336NbZVVC_yvb8CAdP9KONixw1njmhmXAFms/s1600/pds.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5492676817346614498" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 216px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOeCvpOBBMqkrijqK-OX8to2DJ0udyIOArn_pIDoEIemzHqPmSG8_wNGGg6rrFZbAoUI08hOfI_p-l2yKkG_86j0Oa0EC-heJ3plGYusxw336NbZVVC_yvb8CAdP9KONixw1njmhmXAFms/s320/pds.jpg" border="0" /></a><strong>BUKU KUMPULAN PUISI:</strong><br />PEREMPUAN DALAM SAJAK<br />Antologi Puisi 9 Penyair Perempuan Indonesia<br />Faradina, Kwek Li Na, Helga Worotitjan,Nona Muchtar, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K dan Weni Suryandari<br />Editor: Kurniawan Junaedhie<br />Kata Pengantar: Maman S Mahayana<br />100 hal + VIII<br /><br /><strong>CATATAN KECIL ATAS PEREMPUAN DALAM SAJAK</strong><br />Maman S Mahayana<br /><br />Catatan kecil ini sesungguhnya lebih merupakan bentuk pertanggungjawaban atas Kata Pengantar saya dalam buku Perempuan dalam Sajak (PdS). Sembilan perempuan dengan berbagai latar belakang profesinya itu menampilkan sejumlah puisi dalam buku antologi ini. Siapakah ke-9 perempuan itu? Setelah hampir dua semester saya meninggalkan Tanah Air, tiba-tiba menyeruak sembilan nama mengibarkan panji kepenyairan. Dengan kemajuan teknologi, kini siapa pun memang dapat dengan mudah mencetak dan menerbitkan karya-karyanya dalam bentuk buku. Sejumlah penerbit alternatif memberi ruang yang lebih bebas. Maka, buku-buku apa pun, termasuk buku sastra, dan terutama antologi puisi, seperti berloncatan dari penerbit alternatif ini. Maka lagi, buku-buku itu seketika seperti menyerbu kita. Termasuklah di dalamnya antologi puisi PdS ini. Lalu, bagaimanakah kita sepatutnya menyikapi terbitnya antologi ini?<br /><br />Harus diakui, ikhwal penerbitan buku seringkali diikuti oleh sejumlah pertanyaan: Karya siapakah gerangan? Bagaimana kualitasnya? Apakah sekadar ikut menderetkan daftar judul buku dalam sebuah senarai panjang antologi puisi Indonesia atau ada sesuatu yang lain yang patut dicermati? Ekor setiap penerbitan buku antologi puisi, dan teristimewa yang mengusung nama-nama baru, pada akhirnya memang berurusan dengan perkara kualitas. Di sinilah posisinya sebagai penyair sangat ditentukan oleh kebertahanannya dalam sebuah konstelasi. Di samping itu, tentu saja satu hal lagi yang tak boleh diabaikan adalah konsistensi atas pilihannya menceburkan diri pada profesi yang tak populer: penyair!<br /><br />Terlepas apakah kelak ke-9 penyair ini akan mampu bertahan, perjalanan waktulah yang akan menentukan. Lalu, apakah pilihannya menceburkan diri pada profesi yang tak populer itu, sekadar main-main sebagai perayaan sesaat atau mereka akan coba terus konsisten dan memberikan sesuatu bagi sastra Indonesia, betapapun kecilnya? Itupun, waktu jualah yang akan menentukan. Meski begitu, dalam perkara ini, bagaimanapun sepatutnya kita perlu memberi apresiasi atas penerbitan antologi ini. Bagi saya, kehadiran antologi PdS tetaplah sebagai hal yang penting. Di manakah letak kepentingannya?<br /><br />***<br />Ada sedikitnya tiga hal penting yang perlu kita cermati atas kehadiran antologi ini.<br />Pertama, munculnya nama-nama baru; kedua, ihwal posisi kepenyairan; dan ketiga, latar belakang sosiologis deretan ke-9 nama-nama baru itu.<br /><br />Siapakah ke-9 nama itu? Penempatan nama-nama itu –dalam buku ini—diurutkan secara alfabetis: Faradina Izdhihary, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K, dan Weni Suryandari. Tidak menyesal saya belum begitu akrab dengan nama-nama itu, sehingga perbincangan bagian akhir tulisan ini, semata-mata bertumpu pada teks puisi mereka. Tetapi dengan begitu, sekaligus juga saya dapat terhindar dari kesan pretensius, dan tak punya tendensi apa pun berkenaan dengan pertumbuhan berbagai komunitas yang kadangkala dicurigai sebagai bentuk pemihakan dan subjektivitas. Artinya, sebagaimana yang selama ini menjadi sikap dasar saya, tuntutan objektivitas adalah harga sebuah apresiasi. Jadi, ketika kita berbicara perkara kualitas, tak terhindarkan objektivitas menjadi sebuah keniscayaan. Sekali lagi, justru pada sikap objektif itulah harga sebuah apresiasi, betapapun mungkin tak nyaman bagi penulisnya.<br /><br />Baiklah. Sebelum sampai pada perbincangan: sejauh mana kualitas karya mereka, saya coba memberi ilustrasi tentang posisi perempuan pada masa lalu. Untuk itu, mari kita coba menengok dahulu ke belakang.<br /><br />***<br /><br />Seorang istri bupati bernama R.A. Soetan Andika (mungkin nama samaran), menulis<br />surat pembaca. Ia bertanya kepada redaksi Poetri Hindia, Tirto Adhi Soerjo, apakah cerita bersambung (fuilleton) yang berkisah tentang penderitaan seorang istri bupati akan bermasalah lantaran pernah dimuat suratkabar itu.<br /><br />“Djika hamba dipersalahkan, hamba moehoen tanja melanggar wet mana en<br />oekoeman apa jang akan hamba pikoel?” begitu pertanyaannya. Munculnya pertanyaan itu tentu saja ada persoalan yang melatarbelakanginya. Sebagai seorang perempuan, apalagi dengan status sebagai istri bupati, beberapa pihak menganggap, tidak sepantasnya ia menulis karangan, apalagi karangan itu berkisah tentang penderitaan seorang istri pejabat. Konon, gara-gara cerita itu, suaminya difitnah, bahkan juga ada kemungkinan akan dipindahtugaskan di tempat yang tidak ada bupatinya. Di akhir surat pembaca itu, R.A. Soetan Andika bertanya lagi: “Laen dari itoe hamba moehoen padoeka ampoenja timbangan kiranja boleh hamba teroes kan (mengarang: msm) of tida?”<br /><br />Peristiwa itu terjadi lewat seratus tahun yang lalu. Apa pula maknanya bagi kita<br />sekarang? Ketika suratkabar Poetri Hindia terbit pertama kali di Betawi, 1 Juli 1908,<br />sambutan, antusiasme, dan optimisme datang bergelombang dari kaum perempuan di sejumlah kota di Nusantara ini. Berbagai tanggapan dalam surat pembaca yang ditulis dalam bentuk pantun, syair, kiriman tulisan artikel tentang masak-memasak, kerajinan, sampai ke rencana membangun sekolah untuk kaum perempuan ketika itu, memperlihatkan betapa Poetri Hindia ditempatkan sebagai wahana yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kaum perempuan di bidang tulis-menulis. Sebagian besar pembaca yang mengirimkan tulisannya itu adalah istri-istri pejabat (bupati, tumenggung, wedana), karena mereka memang sudah biasa membaca—menulis. Oleh karena itu, ketika fuilleton karya Soetan Andika mengangkat kisah seorang istri bupati, tulisan itu, oleh beberapa pihak, dan terutama pihak gubernemen, dianggap “kelewatan” dan dapat merendahkan status bupati. Lebih dari itu, seorang perempuan—ibu rumah tangga—boleh jadi dianggap tiada pantas menulis atau membuat karangan. Pengertian “istri yang baik” ketika itu adalah istri yang siap setiap saat melayani suami dan tinggal di rumah mengurus segala perkara tetek-bengek. Pandangan stigmatis ini terus menggelinding hingga terciptalah konsep tiga –ur melekat pada pengertian “istri yang baik”, yaitu kasur-sumur-dapur! Itulah kekuasaan “istri yang baik” yang bergerak seputar kasur (tempat tidur), dapur (urusan masak memasak) dan sumur (urusan kebersihan rumah).<br /><br />Wah, betapa repotnya menjadi perempuan; betapa sempitnya pergerakan hidup perempuan di dunia yang mahaluas ini!<br /><br />Rasanya saya masih merasa perlu membuat satu ilustrasi lagi dari catatan sejarah.<br /><br />Di Surabaya, pernah terbit sebuah majalah wanita Tionghoa bernama, Doenia Istri. Edisi pertamanya terbit Mei 1922. The Tien Nio bertindak sebagai pengelola majalah ini. Dilihat dari jumlah penulis dan asalnya, majalah ini banyak melahirkan penulis dan penerjemah peranakan Tionghoa dari kota-kota besar di Pulau Jawa. Beberapa penyumbang tulisan dalam majalah ini, belakangan dikenal sebagai penulis novel dan penerjemah wanita sebagaimana yang dicatat Claudine Salmon dalam bukunya Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu (Balai Pustaka, 1985).<br /><br />Apa yang melatarbelakangi para perempuan Tionghoa itu bertungkus-lumus menerbitkan majalah Doenia Istri? Ada tiga hal yang hendak diperjuangkan mereka. Pertama, melakukan perlawanan pada keterpurukan dan kebodohan kaum perempuan. Kedua, menolak marjinalisasi posisi perempuan dalam pandangan kultur etniknya sendiri dan pandangan masyarakat bumiputra. Ketiga, menghancurkan hukum tak tertulis yang melarang perempuan Tionghoa khususnya, dan perempuan bumiputra umumnya, bekerja sebagai pegawai gubernemen (pemerintah). Pertanyaannya kini: adakah sejarah mencatat kiprah mereka? Sayang sekali, peranan mereka sebagai sastrawan dan jurnalis wanita seperti sengaja ditenggelamkan begitu saja.<br /><br />***<br /><br />Apa maknanya dua ilustrasi di atas dan bagaimana kaitannya dengan antologi puisi PdS ini? Mencermati sejumlah besar karier kepenyairan wanita Indonesia, kita dapat melihat bahwa sebagian besar dimulai ketika mereka belum menjadi ibu rumah tangga. Atau, setidaknya, mereka merintis kepengarangannya dari sebuah komunitas yang bergerak di bidang penulisan atau pergaulannya dengan para sastrawan. Pertanyaan berikutnya adalah: dari komunitas manakah ke-9 penyair yang karyanya terhimpun dalam PdS ini? Bagaimana ke-9 perempuan itu mempunyai keberanian untuk mempublikasikan karya-karyanya tanpa merasa perlu mengibarkan namanya dahulu di media massa yang secara salah kaprah sering dipercaya sebagai alat pembantisan?<br /><br />Ruang facebook (fb) yang penuh dengan misteri dan setiap orang dapat bersembunyi di balik pseudo, rupanya ajang mereka mulai menyalurkan curhat, unek-unek, coba berbagi dengan yang lain, lalu merembetlah sampai ke puisi. Tetapi, bukankah puisi-puisi di fb belum teruji kualitasnya? Bukankah sesama teman fb cenderung memuji dan terkesan menghindar kritik sebagai ekspresi tenggang rasa? Bukankah pujian itu kerap cukup disampaikan dalam satu-dua kalimat, hingga tak mungkin disertai alasan. Sampai di situ, segalanya benar, tetapi seleksi alam juga menuntut kesungguhan melakukan pilihan. Di sana, bukankah ada sosok Kurniawan Junaedhie, salah seorang penyair penting Angkatan 80-an, bertindak sebagai editor. Niscaya, ia tak bakal melalaikan reputasinya sendiri. Maka, sebagai penyair andal yang karyanya bertebaran, baik dalam antologinya sendiri, maupun dalam antologi bersama, ia sudah teruji punya intuisi dan kepekaan untuk memilih dan memilah, mana puisi yang baik, dan mana puisi yang belum baik. Jam terbang kepenyairannya niscaya yang menggerakkan rasa-puisi-nya bertindak sebagai filter. Dengan sensitivitas rasa-puisi itulah, Kurniawan Junaedhie melakukan pemilihan dan pemilahan.<br /><br />Tentu saja kita tidak perlu terburu-buru silau pada reputasi Kurniawan Junaedhie. Bersikap kritis atas sejumlah puisi dalam PdS, jauh lebih baik daripada menelan bulat mentah apa pun yang disajikan di sana. Meski demikian, perkara pencitraan kadangkala juga sulit dihindarkan, apalagi itu berkaitan dengan bisnis. Maka, tidak terlalu menjadi persoalan jika kemudian kita berbaik sangka, bahwa Kurniawan Junaedhie telah menjalankan tugasnya sebagai editor dengan penuh tanggung jawab. Dengan sikap berbaik sangka itu pula, eloklah kita menyambut terbitnya antologi PdS ini dengan sikap apresiatif. Di sinilah penerbitan buku ini menjadi penting, sebab dengan munculnya nama-nama baru itu, ada pesan lain yang mungkin tak disadari: bahwa siapa pun sesungguhnya punya hak yang sama atas profesi apa pun, termasuklah di dalamnya profesi penyair. Dengan begitu, siapa pun yang merasa mempunyai karya (puisi atau cerpen atau novel), silakan terbitkan. Apakah buku itu layak terbit atau tidak? Lho, tentu saja semuanya layak terbit, sejauh penerbit punya pertimbangan untuk itu. Bukankah penerbit (yang baik) juga mempunyai tim pembersih salah cetak, salah ketik, salah nalar, dan sejumlah kesalahan lain yang tidak perlu. Bukankah Kurniawan Junaedhie sendiri yang sejak tahun 1980-an malang-melintang dalam dunia penulisan, bertindak sebagai editor. Dengan begitu, seperti tadi saya katakan: Niscaya, ia tak bakal melalaikan reputasinya sendiri. Alih-alih masyarakat kelak akan mengapresiasi atau tidak atas kehadiran buku itu, ya itu perkara lain. Bagaimanapun, masyarakat punya pilihan sendiri. Tetapi penyikapan atas terbitnya sebuah karya patutlah senantiasa diawali dengan positif dan apresiatif.<br /><br />Bagi masyarakat (sastra), tidak dapat lain, kehadiran PdS tetap akan memberi kontribusi, baik untuk memperkaya tema-tema yang sudah ada, maupun untuk lebih menyemarakkan kehidupan kesusastraan itu sendiri. Dengan gencarnya penerbitan buku sastra, memberi banyak peluang bagi masyarakat untuk melakukan pilihan. Apakah dengan gencarnya penerbitan buku-buku sastra itu malah akan membuat masyarakat bingung? Tentu saja tidak. Kalaupun (mungkin) bingung, kebingungannya tidaklah serungsing berhadapan dengan persoalan politik. Bukankah jauh lebih baik menjejali masyarakat dengan berbagai bacaan daripada menjejalinya dengan berita-berita kriminal dan hiruk-pikuk politik yang sering lucu karena ketidaklucuannya, kerap memuakkan, dan selalu berakhir tak selesai.<br /><br />Begitulah, kehadiran PdS, bagaimanapun juga tetap akan memancarkan pengaruh positif dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Mengingat ke-9 penyair itu secara sosiologis berasal dari profesi yang beragam, setidak-tidaknya, puisi dapat lebih mudah memasuki profesi yang beragam itu. Jika kemudian di antara ke-9 penyair itu ada yang tetap bertahan dan konsisten dengan profesi kepenyairannya, ya syukurlah. Jika pun tidak, ya tidak apa-apa. Bukankah beralih profesi tidak dilarang agama, tidak juga melanggar KUHP? Tetapi, mereka telah mencatatkan diri dalam deretan panjang sastrawan Indonesia. Dan setidak-tidaknya, mereka pernah ikut ambil bagian menyemarakkan kehidupan kesusastraan kita.<br /><br />Kini, coba bandingkanlah kondisi penulis perempuan sekarang dengan yang dialami R.A. Soetan Andika. Bandingkan pula semangat yang melandasi perempuan Tionghoa dalam majalah Doenia Istri dengan penulis perempuan sekarang. Dalam hal ini, saya hendak menegaskan, bahwa kesempatan menulis dan menerbitkan karyanya bagi siapa pun, kini terbuka sangat luas. Bahwa ke-9 penyair ini, di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga dan pekerjaannya di bidang lain—yang mungkin tak ada kaitannya dengan sastra—, masih dapat berkarya dan menerbitkan karyanya, tentu juga itu jauh lebih baik daripada bergerak sekitar tiga ur tadi. Dan niscaya, langkah ini dapat diikuti oleh perempuan-perempuan lain. Saya kira, hal lain lagi yang patut kita apresiasi atas terbitnya PdS ini adalah rasa percaya diri dan keberanian untuk mempublikasikan karyanya.<br /><br />Begitulah, tiga hal penting berkaitan dengan persoalan (1) nama-nama baru, (2) ihwal posisi kepenyairan, (3) latar belakang sosiologis deretan ke-9 nama-nama baru itu. Kiranya cukup beralasan jika kita memberi apresiasi atas terbitnya antologi PdS. Tetapi, bukankah itu perkara di luar teks. Lalu bagaimana kualitas puisi-puisi mereka? Mari kita coba cermati!<br /><br />***<br /><br />Kini kita akan berbicara tentang perkara kualitas. Pertanyaannya: atas dasar apa sebuah puisi dikatakan berkualitas atau tidak? Tentu saja ada sejumlah kriteria yang dapat digunakan sebagai ukuran. Dengan kriteria itulah, penafsiran dan penilaian kita atas sebuah puisi punya dasar, objektif, dan tidak sekadar mengandalkan kesan subjektif sebagai pembaca. Jangan salah, kriteria itu pun tetap dengan menempatkan puisi dalam wilayah medan tafsir. Cetek atau dalamnya penafsiran seseorang, itu sangat bergantung pada pengalaman (baca) dan wawasan.<br /><br />Faradina Izdhihary menyertakan delapan puisi. Kecuali puisi “Belajar Berhitung” yang mewartakan sosok murid dalam memandang (ibu) guru, semua berbicara tentang ibu. Boleh jadi lantaran masih berbicara tentang ibu (guru), “Belajar Berhitung” sengaja ditempatkan sebagai pembuka—yang buat saya, secara tematik justru agak mengganggu. Meski dalam puisi ini, kesan hiperbolis masih sangat terasa, kepadatan belum terjaga, dan tak dapat menyembunyikan hujah aku lirik yang sebenarnya merepresentasikan suara penyairnya, dalam puisi-puisinya yang lain, Izdhihary mulai coba mengendalikan diri. Maka, dalam puisi “Melukis Ibu” penyair sudah melangkah lebih jauh dengan memanfaatkan sarana puitik yang menjadikan puisi itu tak sekadar warta berita atau curhat.<br /><br />Perhatikan repetisi: sanggupkah ... yang selain mendukung persajakan dan kesamaan bunyi, juga efektif mengkontras-bandingkan dua hal yang berbeda (alam—kongkret dan cinta—abstrak) dan sekaligus mempersamakan dua kebesaran. Di situlah, analogi kebesaran alam menjadi sesuatu yang belum sebanding jika disandingkan dengan keagungan cinta ibu. Bukankah pola ini juga yang digunakan Abdul Hadi WM dalam “Tuhan Begitu Dekat” dan Sapardi Damono dalam “Aku Ingin” atau Zawawi Imron dalam “Ibu”? Dua bait awal yang disajikan dalam bentuk pertanyaan retoris itu juga fungsional mendukung pesan yang hendak disampaikan. Maka bait akhir sebagai bentuk retrospeksi –aku—ibu— menjadi penyimpul keseluruhannya. Sayang, dua larik terakhir sebagai penyimpul itu, agak terganggu oleh kesan yang ingin disampaikan agar lebih jelas. Bukankah bait terakhir cukup berakhir sampai: melukis wajah ibu dalam doa/hanya itu// dan frase kubisa, selain ada ketersendatan pengucapan, sehingga kemengalirannya terganggu, juga lebih berfungsi mubazir, sebab menegaskan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas. Ingat, kepadatan dalam puisi sangat penting, sebab hakikat puisi adalah citraan (image) yang berbeda dengan cerpen atau novel yang mengandalkan narasi.<br /><br />Pengucapan tentang ibu yang disampaikan Helga Worotitjan –di antara 11 puisinya—pada dasarnya senada, meski Worotitjan melihatnya dari sisi yang lain. Kata sapaan Mama jelas untuk menunjukkan hubungan yang lebih personal dalam lingkup keluarga. Tetapi, sosok ibu dalam lingkup apa pun, tetap saja menjelma menjadi bagian dari dunia; bagian kehidupan, yang dikatakannya sebagai semesta. Dalam kesemestaan itulah, fungsi reproduksi ibu adalah “kesempurnaan” hidup: yang menyediakan diri untuk ditumbuhi manusia ... Di sinilah, bagi si aku lirik, sosok ibu adalah representasi kehidupan sendiri, bukan dalam posisi biner: anak—ibu, melainkan sebagai citra kesemestaan. Jadi, meski bahasanya tampak sederhana, di dalamnya ada filosofi tentang keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia. Dalam konteks itu, ibu dapat dimaknai sebagai tangan kedua “penciptaan” setelah Tuhan.<br /><br />Meski puisi bukan renungan filsafat, alih-alih boleh jadi pandangan itu pun bukan tujuan penyairnya, buah kreativitas kadang kala memang mencengangkan. Di situlah puisi menyimpan mukjizatnya. Bagaimanapun, kreativitas itu juga salah satu bagian inheren dari representasi Tuhan. Maka, seperti keyakinan para penyair romantik, dalam kreativitas itulah Tuhan bertahta dan kemudian keluar menyelinap melalui kedalaman hati yang terdalam.<br /><br />Jika saja puisi ini disampaikan dengan bahasa yang lebih kental—padat, citraan akan terasa lebih kuat. Bait pertama, misalnya, kecuali larik pertama yang memainkan persajakan dalam larik: sejenak aku senyap/ larik lainnya mengalami pemborosan kata. Bukankah: padaku/seakan/di bujur dan gemilang/ yang, diri, dan untuk/yang luar biasa/ dan larik terakhir bait pertama itu, hanya menegaskan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas maknanya terikut di sana. Demikian juga, sejumlah puisinya yang lain masih menunjukkan kemubaziran pemakaian kata yang secara semantis, maknanya jadi lewah (berlebih) dan secara metaforis juga tak mendukung citraan dan asosiasi pembaca untuk membayangkan hal lain.<br /><br />Kwek Li Na menyertakan 10 puisi. Salah satu di antaranya yang berjudul “Maafkan Aku Ibu” yang juga menempatkan posisi ibu dalam singgasananya yang luhur. Kerinduan yang terhadang ruang, tak membuat cintanya berjarak. Doa adalah sebentuk pelepasan rindu dan ekspresi cinta pada ibu. Dan puisi lalu menjadi pilihan. Maka, kerinduan itu bisa menjelma haru atau sesuatu yang menyentuh kalbu. Itulah estetika yang kadangkala menyeruak begitu saja ketika kita berhadapan dengan sebuah teks yang memancar dari hati.<br /><br />Meski begitu, kembali persoalan kekentalan dan kepadatan, sepertinya masih menjadi kendala. Dengan begitu, metafora yang coba dibangun—yang sebenarnya cukup kuat—menjadi sesuatu yang tak mengundang kita masuk ke dalam pencitraan sosok ibu. Sebut misalnya, kristal bening/memutihkan .../ senja/ bukankah itu sangat lazim digunakan sebagai gambaran air mata dan usia. Bandingkan dengan: Dan gulunglah di lipatan kainmu. Bagi saya metafora ini terasa lebih segar dan kreatif, yang membayangkan sosok perempuan tua dan ringkih, agak bungkuk, berkain lusuh, tetapi tokh ia tak melupakan cintanya (pada anak) dan rela menyimpan sendiri semua rindu-deritanya.<br /><br />Nona Muchtar, di antara 10 puisinya yang disertakan dalam antologi ini, agaknya juga belum punya keberanian untuk mengumbar imajinasinya. Setidak-tidaknya, dalam “Telaga di Matamu” kita melihat, Muchtar, di satu pihak, coba menampilkan sesuatu yang berbeda (Bila sajak di matanya kuhamburkan seperti remah roti/bahagia sekaligus kematian), dan di pihak lain, ia juga belum dapat melepaskan diri dari model pengucapan yang lazim, (jiwa-jiwa rapuh/tunduk padamu/malam membawa badai/angin menggemuruhkan rindu/telaga tempat segala resah. Dan secara tematik, kembali sosok ibu adalah segalanya.<br /><br />Perlu juga disadari, bahwa tanda apa pun dalam puisi harus dicurigai punya makna. Maka, jika secara semantik tak hendak memberi makna lain pada kata: selalu/karena/ mengapa pula harus ditulis slalu dan karna. Persoalannya berbeda dengan bentuk penulis reduplikasi (kata ulang) yang tak menggunakan tanda hubung (-), seperti jiwa jiwa, malam malam, yang biasanya sengaja digunakan untuk menunjukkan keserempakan. Meski begitu dalam puisinya yang berjudul “Mengenangmu” penghadiran suasana rindu yang menggebu dan kesepian sendiri, cukup efektif mengganggu asosiasi (pembaca) untuk membayangkan sesuatu—kerinduan yang gagal diendapkan. Rindu terapung dalam kesunyian/tanpa bahasa tanpa makna// menunjukkan kerinduan—kesendirian yang ambivalen: hendak diendapkan atau dilawan. Dan ternyata, pilihan untuk melakukan perlawanan itu pun sebatas pada bayangan. Di luar perkara tematis itu, puisi ini agak nakal mengganggu asosiasi kita pada problem internal ketika kerinduan tak tertahankan.<br /><br />Pratiwi Setyaningrum menyertakan tujuh puisi. Ia tampaknya punya cara lain untuk mencantelkan kerinduan pada ibu, dan secara cerdas ia membidik alam sampai tembus pada Tuhan. Di antara itu, Pratiwi juga punya kesadaran untuk memainkan citraan, metafora, persajakan dalam larik, dan pemenggalan larik untuk mencapai efek puitik (enjambemen). Dalam puisinya yang berjudul “Lukisan Kasih nan Agung” misalnya, langit warna terang dan kelam/bersemu jingga dan mangga masak. Lho, mengapa harus mangga masak? Inilah model citraan penglihatan ketika penyair merasa lebih pas memakai warna mangga masak, ketimbang warna lain yang konvensional. Dengan begitu, warna ranum mangga itu boleh ditafsirkan sebagai warna yang agak kemerah-merahan, kecokelat-merahan yang menyeruak di antara warna hijau agak tua, atau warna lain. Bukankah mangga masak itu juga ada yang berwarna agak biru dengan bercak putih di sana-sini. Dan itu semua bergantung pula pada jenis mangganya. Di sini, penyair enteng saja menyandingkan mangga masak dengan warna lain yang sering kita lihat menyapu langit.<br /><br />Lalu, di sana ada Engkau yang besar. Pratiwi sengaja tidak menyebutnya sebagai kekuasaan-Mu yang sudah menjadi klise karena bisa dengan mudah kita jumpai dalam begitu banyak puisi yang mengagungkan kekuasaan Tuhan. Di dalam kemahaluasan kuasanya itu, menyebar: lapis-tipistipis-garis angin ... yang menggambarkan sebuah kontras sesuatu yang besar (Tuhan) dan representasinya (: ciptaan-Nya) yang kecil. Persajakan dalam larik itu, selain menciptaan keindahan bunyi pada larik: lapis-tipistipis-garis angin, juga mendukung tema yang hendak disampaikan.<br /><br />Pilihan diksi reduplikasi: cabik cabik/ayun ayun, dan onomatope: shaaash ... shaaash, sungguh terasa asyik, lantaran ia tidak jatuh pada model ungkapan klise. Bukankah lazimnya digunakan: serpihan putih biru, ombak berayun-ayun atau ombak bergelombang? Dengan segala kekagumannya pada alam, memaksanya mengagumi Tuhan, dan tiba-tiba saja kita seketika dibelokkan pada: untukmu, Ma/aku kangen, hiks// Bukankah itu pengagungan luar biasa pada sosok ibu yang tidak verbalistik. Perhatikan urutan peristiwanya: keterpesonaan pada alam, membawanya pada ketakjuban pada Tuhan. Manakala sampai pada kuasa Tuhan, ia rindu pada ibu yang melahirkannya. Tiruan bunyi: hiks justru memancarkan kemanjaan, kecintaan, dan kerinduan pada sosok ibu. Bandingkan jika larik akhir itu berbunyi: Ma, aku kangen, tangisku tumpah atau tangisku ... atau metafora yang banyak dipakai: tetes bening ... jadi terasa biasa, verbalistik, dan tak mencitrakan kemanjaan-kerinduan-kecintaan. Hiks di sana begitu efektif menutup puisi itu.<br /><br />Dalam beberapa puisinya yang lain, Pratiwi Setyaningrum coba mencantelkan pada kultur etnik yang melingkari dan membesarkannya. Jadi, ada semacam panggilan ibu budaya ketika ia berhadapan dengan realitas sekarang. Dengan begitu, kultur etnik menjadi warna lain yang membedakannya dengan penyair lain. Meskipun begitu, semangat berlebihan untuk memaksakan kosakata Jawa patutlah dipertimbangkan, jika bahasa Indonesia masih menyediakan padanannya. Jika tidak, tentu saja hak penyair untuk memanfaatkan kebebasan kreatifnya. Itulah yang dimaksud licentia poetica.<br />Shinta Miranda menyertakan 12 puisi. Salah satu puisinya yang berjudul “Ibu” coba menggambarkan sosok ibu yang lantaran terjadi perpisahan yang lama, justru memberi penyadaran pada si aku lirik: aku ingin menjadi tangguh/seperti dirimu yang teguh// Sebuah penghargaan pada sosok ibu yang paripurna bertahan dalam segala kesabarannya. Dalam soal pengucapan puisi itu, Miranda agaknya masih coba setia pada pola persajakan konvensional. Padahal keberanian untuk berbeda, bahkan nyeleneh justru penting agar kita tak terjebak pada bentuk stereotipe. Cara ini juga diperlukan, agar pesan yang hendak kita sampaikan tidak berhenti pada makna tekstual, tetapi meloncat jauh bergentayangan mengganggu saklar imajinasi pembaca. Itulah yang dimaksud dengan citraan. Sebutlah kata “plung” atau “brak” yang memaksa kita membayangkan sesuatu jatuh ke air atau sesuatu tumbang dan patah. Dalam bentuk lain, misalnya lagi, sebutlah, “desir angin mendesis/ menyentuh kuduk// bukankah kita terpaksa membayangkan sesuatu menerpa kuduk. Mungkin kemudian yang kita bayangkan adalah sesuatu yang dingin menyentuh, atau mungkin juga membuat kita merinding.<br /><br />Begitulah, dalam “Ibu” Miranda menumpahkan cintanya pada ibu dalam maknanya yang tekstual. Tentu saja cara itu tidak dilarang. Tetapi, kembali, puisi itu terasa indah ketika dibaca, tetapi tak cukup menggerakkan saklar imajinasi kita untuk membayangkan sesuatu di luar teks. Dunia dalam teks tetap terkurung, karena tak cukup diberi ruang untuk mencantelkannya dalam konteks yang lain. Meski begitu, kesetiaan pada pola persajakan seperti itu sesungguhnya fondasi yang kuat jika alam dan segala benda yang berada di sekitar, ikut dimanfaatkan untuk menciptakan metafora yang lebih segar dan kreatif.<br /><br />Di antara 10 puisi Susy Ayu, satu puisinya yang berjudul “Belahan Jiwa” tampak sengaja menggunakan cara lain untuk menggambarkan sosok ibu ketika berhadapan dengan anak. Ia menempatkan dirinya sebagai representasi ibu yang saling berpandangan dengan dua buah hatinya: anak-anaknya. Secara tematik, pesan apa pun tentulah tak menjadi soal. Tetapi ketika tema apa pun itu dikemas dalam bentuk puisi, maka tuntutan poetika sebagai sarana penting dalam puisi, terpaksa harus menjadi perhatian. Kecintaannya pada anak, yang dikatakannya sebagai: dua pasang kejora berpendar/lalu sentuhan kulit lembut menyibak rambut/singgah pada wajah ... membayangkan wajah suci bau bayi yang dengan cara apa pun, kerap menggetarkan jiwa, karena anak sesungguhnya sebelah hati kita. Bukankah orang tua juga beroleh kebahagiaan atas pancaran aoranya. Maka, ia tak perlu menuntut apa pun pada anak, sebab di sana, pada diri anak itulah, sebelah jiwa kita berada.<br /><br />Tidak sampai di sana. Bait berikutnya menunjukkan, betapa ketulus-polosan anak berkelindan dari gerak yang fisikal: lipur lara dari bibir kecil gemetar ... seketika menyelinap, lalu perlahan menyusup dan mengeram dalam kalbu. Muaranya adalah: itulah cinta-kasih Tuhan. Perhatikanlah urutan peristiwa dalam puisi itu: bersimpuh karena luka kecil, lalu ada perhatian kecil dari tubuh kecil yang secara metaforis membawa jarum (kecil) mengaitkan segala yang kecil tadi pada hati. Dan ekor peristiwa itu: itulah kasih Tuhan. Dan di sana, si aku lirik tak lagi menyebutnya dua pasang kejora, melainkan dua pohon surga!<br /><br />Persoalannya ternyata juga belum berhenti sampai di sana/ Dua larik terakhir: setelah kurelakan jiwaku terbelah belah / di setiap lapisan sejarah masa lalu// O, rupanya itu bentuk apologia yang lain. Atau, pemaafan atas masa lalu, meski kini sudah tumbuh dua pohon surga. Jika begitu, mengapa mesti ada apologia itu, kecuali jika bukan lantar problem psikologis! Itulah puisi, dan penyair menempatkan hubungan ibu—anak menjadi problem yang mungkin juga terjadi pada diri perempuan yang lain. Teks puisi jadinya mengajak kita bergentayangan kepada hal lain di luar teks. Itulah asosiasi, itulah cara lain membetot saklar imajinasi tak berhenti pada satu titik. Ada noktah lain yang menunggu tafsir yang juga lain.<br /><br />Tina K menyertakan enam puisi yang keseluruhannua berbicara tentang cinta. Dua di antaranya, “Ingin Bersamamu” dan puisi pendek “Kasmaran”. Puisi “Ingin Bersamamu” berbicara tentang cinta yang bisa melekat pada diri anak, ibu, atau siapa pun. Meski larik: hati terasa ngungun, menunjukkan cinta dalam pengertian asmara, tokh saling cinta ibu—anak, suami—istri atau dua sahabat, tetap saja akan menghadirkan perasaan ngungun yang kerap membawa jiwa memberontak. Puisi ini pun mengingatkan saya pada puisi Sapardi Djoko Damono tentang cinta yang tak terucapkan atau aku ingin mencintaimu dengan sederhana.<br /><br />Dalam puisi “Kasmaran” metafora yang digunakan sesungguhnya efektif: hanyut, tenggelam, berenang, pulang menunjukkan gambaran percintaan yang tajam-tandas-dalam. Risiko pilihan pada puisi yang pendek seperti itu adalah gagalnya mengangkat citraan. Sesungguhnya, dengan metafora yang lazim itu, pembaca dapat menangkap sebuah peristiwa percintaan yang menukik sampai ke ujung. Tetapi, citraannya agak terganggu dengan kehadiran aku lirik: ini aku, yang ... lalu, dan muncul lagi aku lirik. Bandingkan, misalnya, jika puisi ini dibangun dengan larik yang lebih padat-kental-lugas. Boleh jadi, citraannya akan tersa lebih kuat. Misalnya:<br /><br />perempuan kasmaran<br />hanyut tenggelam<br />tak bisa berenang<br />tak bisa pulang<br /><br />Bandingkan dengan puisi Sitor Situmorang berikut ini:<br /><br />bunga di atas batu<br />dibakar sepi<br /><br />atau puisi Sapardi Djoko Damono berikut ini:<br />tuan, tuhan bukan<br />tunggu sebentar<br />saya sedang keluar<br /><br />Bukankah Sitor Situmorang tak harus berkata: (ada) bunga (tergeletak) di atas batu/ (yang) dibakar sepi// Begitu juga Sapardi, tidak perlu eksplisit bertanya begini: (apakah) tuan, tuhan (atau) bukan/tunggu (di sini) sebentar/saya (sekarang) sedang (pergi) keluar// Kembali, saya hendak menegaskan, bahwa kepadatan-kekentalan-kelugasan, penting dalam puisi mengingat wilayah puisi yang bermain dalam citraan dan asosiasi. Maka, untuk menghidupkan citraan dan asosiasi itu, diperlukan godaan, agar terjadi klik pada saklar imajinasi kita.<br />Weni Suryandari menyertakan 10 puisi. Tiga di antaranya juga menyertakan puisi pendek, yaitu “Perjalanan Rindu”, “Surat untuk Ibu,” dan “Rindu Ibu # 1)” Dari ketiga puisi itu, “Perjalanan Rindu” cukup berhasil membangun citraan: Ingin kulipat jarak/agar malam tak lagi sajak/tapi mendengar detak/:di dadamu// Betul, betapa jarak yang jauh telah menciptakan rindu, dan malam-malam hanya dapat membayangkan keindahan semu, seperti sajak. Maka, aku lirik ingin agar si engkau hadir: mendengar detak/ di dadamu. Mengapa di dadamu? Bukankah di dadamu makna citraannya tak berbeda dengan dadamu?<br />Dalam dua puisi pendeknya yang lain: ibu, aku ingin/membelah atap dengan pisau langit/jadi dua?// (“Surat untuk Ibu”) dan retak matahari di matamu/aku menggigil di situ/ karena rindu// (“Rindu Ibu # 1”), rasanya saya gagal menemukan cantelan pisau langit sebagai penanda yang dapat merekatkan rindu anak—ibu. Begitu juga dengan: retak matahari di matamu. Apakah yang dimaksud pisau langit itu: pelangi, halilintar, malaikat, waktu, atau siang dan malam. Jika begitu, atap yang terbelah jadi dua, maknanya hati yang berbagi atau berbagi suka-duka. Tetapi bukankah atap sebagai ikon rumah? Lalu, mengapa harus terbelah?<br /><br />Hal yang sama terjadi pada puisi “Rindu Ibu # 1”. Apakah matahari sebagai penanda perjalanan hidup dan retak sebagai duka-derita? Atau, matahari sebagai elan, semangat atau spirit kehidupan? Jika begitu, mengapa retak, sebagai sesuatu yang rawan pecah, sebagai sesuatu yang menjadi awal kehancuran? Jika begitu, ia malah kontradiktif dengan rindu sosok aku lirik yang menggigil di sana.<br /><br />Begitulah, puisi-puisi pendek sering mengundang dan mengandung risiko jika cantelan citraannya bertumpu pada kata tertentu yang sekadar enak dibaca. Bagaimanapun, puisi tak cuma permainan kata-kata yang diindah-indahkan atau dirumit-rumitkan. Meski pembaca tak punya kewajiban untuk memahami puisi itu, dan penyair bebas membangun puisinya dengan cara apa pun juga, puisi yang baik selalu mengajak pembacanya melakukan dialog. Hubungan teks dan pembaca yang bersifat dialogis itu akan terganggu manakala teks tak memberi ruang imajinasi pembaca coba menerjemahkannya. Jadi, diperlukan sinyal-sinyal yang memungkinkan pembaca segera mengklik saklar imajinasinya. Maka, dengan klik itulah, citraan dan asosiasi dihidupkan. Dari sana, terbangun suasana, peristiwa atau apa pun sesuai dengan pengalaman pembaca mengumbar imajinasinya.<br /><br />Dalam puisinya yang lain, terutama pada puisi “Rindu Ibu #2”, Weni Suryandari tampak piawai memintal kerinduannya pada ibu dalam larik-larik yang asosiatif: berkisah tentang masa kanak-kanak, belai-kasih ibu, dan pancaran anak sebagai aura cinta ibu. Meski begitu, seperti juga dalam beberapa puisinya yang lain, kelalaian melakukan pengendapan, keinginan segera selesai dan seketika itu juga tergoda hendak mewartakannya, kadangkala juga membawa risiko pada munculnya pengulangan yang tak perlu dan hadirnya sejumlah kemubaziran. Sekadar contoh, penegasan kata ganti aku dan –ku yang agak royal, sering malah menghadirkan pemborosan.<br /><br />***<br /><br />Pembicaraan ringkas ini tentu saja tidak mewakili keseluruhan karya yang terhimpun dalam antologi ini. Meski begitu, saya menangkap bahwa ke-9 penyairnya memperlihatkan keseriusan menampilkan karyanya. Bahwa di sana-sini masih ada ketersendatan dan kemubaziran, tentu saja itu sesuatu yang wajar saja. Bukankah karya-karya penyair mapan pun di sana-sini, kadangkala juga mengundang masalah ketika kita melakukan pembacaan. Satu hal yang lazim terjadi adalah kemungkinan tafsir yang berbeda dengan pesan penyair. Maksudnya, penyair hendak mengatakan A dan ditafsirkan pembaca sebagai B adalah hal yang wajar terjadi dalam menerjemahkan makna puisi. Oleh karena itu, tafsir yang saya lakukan, bukanlah satu-satunya penafsiran yang mungkin. Jadi, masih terbuka peluang bagi pembaca untuk menafsirkan lain dengan cara yang juga lain.<br /><br />Akhirnya, segalanya terpulang pada pembaca. Tetapi yang pasti, PdS telah hadir sebagai bagian dari khazanah kesusastraan Indonesia. Maka, jadilah warga sastra Indonesia dan sumbangkanlah apa pun untuk kemajuannya, betapapun kecilnya. Hanya dengan cara itulah, kehidupan sastra Indonesia akan berkembang sehat, penuh dinamika dengan segala keberagamannya. Keberagaman itulah yang sebenarnya kekayaan kesusastraan Indonesia yang berbeda dengan kesusastraan dari belahan bumi yang lain.<br /><br />Selamat memasuki dunia kepenyairan Indonesia!<br /><br />Seoul, 21 Mei 2010<br /><br /><br />Salam hangat musim semi<br />Maman S Mahayana </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-27746887668616653202010-07-11T22:39:00.001+07:002010-07-11T22:43:40.058+07:00Panduan Berobat ke Singapura - Maria Nurani<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxldrpXaM9-60jAUfpQlnf2lVKQLFZmUIV2FSOY5SK_DirWYvfIJ6zVM3oKjv8SEtO3SARQIbyx-SdVEo_Uf98s41aCleSS8pMCvXhdRoirkFBSYk5LTpbBCzoT0ZWYpF1TvUglz28ujYe/s1600/panduan.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5492674728417946882" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 214px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxldrpXaM9-60jAUfpQlnf2lVKQLFZmUIV2FSOY5SK_DirWYvfIJ6zVM3oKjv8SEtO3SARQIbyx-SdVEo_Uf98s41aCleSS8pMCvXhdRoirkFBSYk5LTpbBCzoT0ZWYpF1TvUglz28ujYe/s320/panduan.jpg" border="0" /></a><strong>BUKU PANDUAN:</strong><br />Panduan Berobat ke Singapura<br />Penulis: Maria Nurani<br />Ukuran: 13,5 x 20 cm,<br /><div>96 hlm + x<br />Harga: Rp. 35000<br /><br />Tersedia di TB Gramedia di kota Anda<br /><br />Jika saat ini Anda lagi berpikir-pikir untuk berobat ke Singapura, mungkin buku ini pas Anda baca. Buku yang disarikan dari berbagai sumber, termasuk pengalaman pribadi dan pengalaman sejumlah teman ini diharapkan akan menjawab keperluan Anda. Memuat banyak hal yang perlu Anda ketahui, baik selama persiapan maupun saat di sana.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-53646267953945437762010-07-11T22:22:00.005+07:002010-07-11T22:44:16.864+07:00Diksi Seksual - Heru Emka<div align="justify"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5492672549280202754" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 216px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipimDxNWSDHTd21DYCbsVs8FSDPrRzGx-NXt8jyCY9hW-Z2xemxnqpvqJ8gGSjYeMH3eCTnmQaJBjcTIFBRodoW7F11QmdYiVOGeptj0ljs4nHZoGa7P04GcyjyYYRWVs6I5PqpJ_Co5rm/s320/diksiseksual.jpg" border="0" /><strong>NON FIKSI:<br /></strong>DIKSI SEKSUAL<br />Ensiklopedia Seksual<br />Heru Emka<br />Februari 2010<br />100 hal +XII<br />Rp. 40rb<br /><br />Tersedia di TB Gramedia.<br /><br />Buku ini adalah sebuah buku ensiklopedia atau buku pintar yang menjelaskan ber-bagai istilah, atau termonologi seks populer yang biasa kita dengar atau kita baca. Disusun secara alfabetis. Mulai dari Aborsi sampai Zoophilia, mulai dari Anal Seks sampai Zona Erotis. Beragam istilah populer lain seperti dildo, hardcore, hentai, blowjob, handjob, gangbang, dan sejenisnya juga dimuat dan dijejaskan secara gamblang dan terus terang dalam buku ini.<br />Layak dan wajib dimiliki dan dibaca oleh para orang-tua, para guru bahkan para remaja dan orang dewasa sekalipun khususnya yang perduli terhadap masalah pendidikan seksualias, sebagai bahan informasi penting tentang seks dan seksualitas.<br /><br /><strong>Komentar pembaca:</strong><br /><strong></strong><br />“Buku ini mengungkap banyak hal tentang seksualitas kita. Dari yang normal-normal saja hingga perilaku seksual yang bagi kita gila-gilaan.” Erica Awuy (31 tahun, pekerja kreatif )<br /><br />“Sebuah buku yang tak saja informatif, namun juga mempunya nilai edukatif“ Fajar Viandrito (23 tahun, mahasiswa)<br /><br />“Sebelumnya aku berpikir istilah ‘mata keranjang’ itu nggak masuk akal, Apakah anda mata yang seperti keranjang? Setelah membaca buku ini, baru aku menemukan penjelasan tentang istilah ini. Buku ini membuat kita tahu banyak hal seputar informasi seksual, yang bisa menjadi pedoman untuk memulai studi tentang seksu-alitas.“ Gayatri (36 tahun, pekerja sosial dan aktifis LSM)<br />-</div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-6973142990258351432010-07-11T21:40:00.007+07:002010-07-11T22:45:17.765+07:00Tukang Bunga & Burung Gagak - Kumpulan Cerpen<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTvsZ7-xKEYRkBM9VVSvY4iXw43MUvouOpulQbyO3Mn6HrEPEozc-wIASCJ-ze00TUCcFGlEv9ksnrw4Bc45Dv714fjnjIWYQnsPbqz0X7tqJjTUzJ3SowlIfdaIfakMuiN6AuVqeQbnX9/s1600/COVER+DEPAN.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5492661801289319970" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 226px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTvsZ7-xKEYRkBM9VVSvY4iXw43MUvouOpulQbyO3Mn6HrEPEozc-wIASCJ-ze00TUCcFGlEv9ksnrw4Bc45Dv714fjnjIWYQnsPbqz0X7tqJjTUzJ3SowlIfdaIfakMuiN6AuVqeQbnX9/s320/COVER+DEPAN.jpg" border="0" /></a><strong>BUKU KUMPULAN CERPEN:</strong><br />TUKANG BUNGA & BURUNG GAGAK<br />Kumpulan Cerpen 4 Cerpenis Indonesia<br />Agnes A Majestika, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie dan Ryana Mustamin<br />Februari 2010<br />184 hal + VIII<br />Harga Rp. 40rb<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-size:100%;">Komentar Seno Gumira Adjidarma tentang buku ini:</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;">Cerpen / Cermin</span><br /></span><em><br />Manakah yang lebih penting,<br />dunia yang dicerminkan cerpen,<br />atau cerpen sebagai cermin itu sendiri?<br /><br /></em>Jika cerpen boleh diandaikan sebagai cermin, setelah membaca kumpulan cerpen Tukang Bunga & Burung Gagak, dunia macam apakah kira-kira yang telah dicerminkannya?<br /><br /><div align="justify">Membaca empat cerpen Agnes A. Majestika secara berturut-turut, saya melihatnya sebagai kesatuan sebuah dunia yang berurusan dengan anak, atau tepatnya calon anak. Dalam latar masa depan, “Calon Adik untuk Bhi” adalah tentang calon anak yang masih berada dalam kandungan; “Istri” bicara tentang calon anak yang (mumpung) belum ada; “Langkah”, meski berurusan dengan sapi, topiknya adalah janin dalam perut sapi yang sangat diharapkan pemiliknya menjadi sapi; sedangkan “Alibi” berkisah tentang suami istri yang tidak disebutkan punya anak atau tidak, dan memang tidak bicara tentang anak sama sekali.<br /></div><br /><br /><div align="justify">Bagi saya, ketiadaan perbincangan tentang anak sama sekali pada cerpen terakhir, justru setelah perbincangan tentang calon anak (termasuk anak sapi) pada ketiga cerpen sebelumnya—meski dalam ketiganya anak itu belum ada—tidak membuat gagasan tentang anak terhapus sama sekali. Sebaliknya, kehilangan gagasan anak itu sangat terasa, sehingga keberadaan gagasan tentang “anak” itu semakin kuat, ketika saya bertanya-tanya, kapan cerita itu akan sampai kepada perbincangan tentang anak?<br /></div><br /><br /><div align="justify">Dengan demikian, takterhindar berlangsungnya pembacaan intertekstual, bahwa proses pembermaknaan cerpen yang terakhir itu tertentukan oleh pembacaan cerpen-cerpen Agnes sebelumnya—dan saya terpesona oleh kenyataan bahwa makna “anak” (termasuk anak sapi) bisa hadir dengan tegas dalam tiga cerpen yang belum menghadirkannya sebagai “objek”, bahkan menghadirkan rasa kehilangan, bagaikan sebelumnya sudah ada dan karena itu jadi bermakna, dalam cerpen keempat yang justru tidak membicarakannya sama sekali.<br /></div><br /><br /><div align="justify">Namun saya baru bisa menempatkan posisi cerpen Agnes dalam perbincangan ini, hanya setelah sampai kepada cerpen-cerpen Kurnia Effendi.<br /><br /><br />***<br /><br /></div><br /><br /><div align="justify">Di antara empat cerpen Kurnia Effendi, saya memusatkan perhatian kepada yang ketiga, “Pojok Kafe Simpang Lima”, karena jika tiga cerpennya yang lain memang menggambarkan sebuah dunia yang dicerminkan, dan ternyata di sana pula posisi cerpen Agnes, maka dari cerpen ini saya dapat menggagas tentang cermin itu sendiri. Jadi membaca cerpen memang memberikan kita pilihan, apakah membaca dunia yang dicerminkan ataukah membaca cermin itu sendiri—dan ternyatalah bahwa yang tertulis itu bukanlah sekadar “cerita yang pendek”, melainkan semacam puisi. Artinya bahasa di sini tidak bermaksud menunjuk sesuatu yang digantikannya dengan deskripsi sejelas-jelasnya, melainkan menunjuk dirinya sendiri sebagai cermin yang mengatasi dunia yang dicerminkannya—dunia “nyata” dihapus, dan cermin itulah yang menggantikannya, bukan sebagai cermin, melainkan sebagai dunia itu sendiri.<br /></div><br /><br /><div align="justify">Apa boleh buat, susunan kata-katanya memang telah menjadi sebuah dunia, tempat bisa dirasakan kembali suasana hati seseorang yang merindukan kembali sesuatu yang telah berlalu. Dapat dibaca bahwa bukan alur yang penting di situ, bukan “ceritanya bagaimana”, melainkan “rasanya bagaimana”, karena merupakan sebuah monolog, tetapi bukan seperti dari mulut seorang aktor di atas panggung yang wajib menyampaikan segala sesuatunya dengan artikulasi sejelas-jelasnya, melainkan seperti “surat” yang ditujukan kepada seseorang, tetapi tentang segala sesuatu yang sudah sama-sama dimengerti—menjelma suatu suasana hati yang ingin dibagi.<br /></div><br /><br /><div align="justify">Menyadari keadaan ini, makin tegas kehadiran dikotomi itu: antara cermin dan dunia yang dicerminkannya; apakah suatu cerpen akan menjadi cermin yang menunjuk sesuatu yang bukan dirinya; ataukah bisa diandaikan sebagai satu-satunya keberadaan dunia yang sah, karena dunia yang terandaikan sebagai dicerminkannya memang sudah tidak terlacak lagi. Dikotomi macam inilah yang membedakan cerpen “Pojok Kafe Simpang Lima” ini dengan tiga cerpen Kurnia Effendi lainnya.<br /><br /><br />***<br /></div><br /><br /><div align="justify">Dengan kesadaran ini, saya menjadi lebih siap menerima tokoh burung gagak dalam “Tukang Bunga & Burung Gagak” yang ditulis Kurniawan Junaedhie, karena sudah jelas burung gagak dalam cerita itu bukanlah burung gagak dari kehidupan sehari-hari, melainkan burung gagak dari dunia simbolik—dalam hal ini burung gagak sebagai simbolisasi pencabut nyawa. Dengan kesepakatan ini, seorang pembaca tidak akan menjadi bingung, dan dalam kebingungannya lantas mengambinghitamkan cerpen yang dibacanya, karena cerpen ini memang berkisah tentang ironi seorang tukang bunga, yang selalu diuntungkan oleh kematian orang lain, tetapi tidak menyadari betapa dekat bayang-bayang kematiannya sendiri.<br /></div><br /><br /><div align="justify">Dalam hal ini juga, bukan dunia yang dicerminkan cerpen, melainkan cerpen sebagai cermin itu sendiri yang mengambil peran, karena dunia dalam cerpen ini secara harfiah tentu tidak dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ini tidak berarti pendekatan cerpen yang satu dapat dianggap lebih baik atau lebih kreatif dibanding pendekatan cerpen yang lain, karena baik dan tidak baik itu tidak merupakan substansi yang berada di dalam cerpen, melainkan dalam wacana pembaca itu sendiri, yang jika bertanggungjawab, dapat menjelaskan kenapa dirinya suka atau tidak suka terhadap cerpen tertentu.<br /></div><br /><br /><div align="justify">Maka saya pun dapat menerima dua cerpen Kurniawan yang lain, seperti “Opera Asmara” dan “Kenangan Keluarga” yang “sehari-hari sekali” maupun yang karikatural seperti “Sepatu Elvis”, yang ketiganya jelas berbeda pendekatan dengan “Tukang Bunga & Burung Gagak” tadi—jika dua yang pertama dapat dianggap terarah kepada dunia yang dicerminkan; dua yang terakhir menarik perhatian kepada cerpen sebagai cermin itu sendiri, dengan perbedaan bahwa meskipun keduanya sama-sama ironis, jika “Sepatu Elvis” dengan sifat karikaturalnya menimbulkan efek lucu, hal itu tidak terjadi dengan “Tukang Bunga & Burung Gagak”.<br /><br />***<br /></div><br /><br /><div align="justify">Empat cerita pendek Ryana Mustamin saya kira juga mengarahkan perhatian kepada dunia yang dicerminkannya, dan bukan kepada cerpen sebagai cermin itu sendiri—dalam pendekatan ini tema yang terungkap menjadi penting, karena bukan cara penyampaian yang menjadi persoalan. Di antara empat cerpen, tidak dapat saya ingkari bahwa “Dahaga” menempatkan dirinya dalam posisi penting, dalam hubungannya dengan perbincangan mitos tentang perempuan.<br /></div><br /><br /><div align="justify">Dalam cerpen “Dahaga” seorang perempuan mandiri, feminis dan aktivis LSM yang antipoligami, mengaku kepada dirinya sendiri, betapa ia telah menyerah kepada desakan tubuhnya, yang telah membawanya untuk menerima undangan seorang lelaki beristri untuk bercinta. Konflik batin yang dapat diikuti dalam cerpen ini, tidak menutupi kehancuran mitos baru yang telah dibangunnya di atas mitos lama: dengan pernyataan perempuan tidak wajib menikah dan tidak wajib punya anak, tokoh aku telah menghancurkan mitos lama perempuan sebagai alat reproduksi; tetapi mitos baru bahwa perempuan mandiri mampu melepaskan diri dari ketergantungan kepada lelaki, dihancurkannya sendiri untuk kembali kepada mitos yang paling purba, bahwa desakan tubuh mengatasi penalaran dan mendapat pembenaran.<br /></div><br /><br /><div align="justify">Cerpen ini berakhir dengan konflik batin, jadi pembaca dapat mengetahui betapa tiada makna yang dapat sungguh-sungguh menetap. Tergantung dari sudut mana memandangnya, pembaca dapat mengolah pembermaknaannya sendiri, apakah tokoh perempuan dalam cerpen “Dahaga” ini “kalah” karena mengorbankan prinsip, atau “menang” karena akhirnya mampu untuk menjadi tidak lagi munafik—dan dalam hal ini pula pembermaknaan pembaca yang dapat dipertanggungjawabkan tidak perlu ada yang “benar” maupun yang “salah”.<br /><br />***<br /></div><br /><br /><div align="justify">Kemungkinan terakhir ini, bahwa pembaca berhak sepenuhnya mengolah pembermaknaannya masing-masing, membebaskan cerpen atau apa saja dari kriteria “sastra”. Namun ini tidak harus berarti sastra tiada maknanya lagi. Betapapun yang dibaca adalah tulisan, dan melalui tulisan itulah segala sesuatu ditafsirkan dalam pembermaknaan. Jadi, pembedaan antara “dunia yang dicerminkan cerpen” dan “cerpen sebagai cermin itu sendiri” adalah pembedaan konseptual yang dapat berlaku untuk tulisan yang sama—yang pertama berurusan dengan mitos, yang kedua berurusan dengan teks; dalam keduanya sudah terbangun tradisi pembermaknaannya masing-masing, yang terhadap keduanya pun dapat berlaku pembacaan intertekstual dan multidisipliner. Dalam bahasa awam, membaca cerpen itu tidak perlu terikat kepada kriteria apapun—tidak ada benar dan salah, tidak ada indah dan tak-indah, tetapi pasti ada suka dan tidak suka, karena wacana pembacalah yang menentukan makna, sedangkan wacana setiap pembaca itu takmungkin persis sama.<br /><br />SGA<br /><br /><br /><em>(Bahan diskusi buku Tukang Bunga & Burung Gagak, kumpulan cerpen Agnes A. Majestika, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie, Ryana Mustamin, PDS HB Jassin, TIM, Sabtu 13 Maret 2010. 14:00).</em></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9011071195843599787.post-56221005433384950962010-07-11T21:07:00.005+07:002010-07-11T22:45:52.389+07:00Perempuan dalam Secangkir Kopi - Kump. Puisi Kurniawan Junaedhie<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6mrFKtfSGV3JPIv8meLUHPgTZeIa4SE5Hu4Yj9tTWDWNp_aVdYp2BRTqhw-ShKu7v1mCICZjU8pRW0wT12P6iBGr7U6pX0xg2Si8LCWshDR_zoyn7wKr9qaQc7oIhXYuVT2a7916kEE8X/s1600/kaveryangbener.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5492657766364102978" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 203px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6mrFKtfSGV3JPIv8meLUHPgTZeIa4SE5Hu4Yj9tTWDWNp_aVdYp2BRTqhw-ShKu7v1mCICZjU8pRW0wT12P6iBGr7U6pX0xg2Si8LCWshDR_zoyn7wKr9qaQc7oIhXYuVT2a7916kEE8X/s320/kaveryangbener.jpg" border="0" /></a><strong>BUKU KUMPULAN PUISI:</strong><br />PEREMPUAN DALAM SECANGKIR KOPI<br />Kumpulan Puisi Kurniawan Junaedhie<br />Februari 2010 -<br /><div align="justify">52 hal + XII<br />Harga Rp. 27.500.<br /><span style="color:#ffffff;">-</span><br />Memuat 45 puisi Kurniawan Junaedhie. Apa kata sejawatnya tentang buku ini? </div><br /><div align="justify"><strong>Seno Gumira Ajidarma, wartawan & sastrawan</strong>:<br />Bagi saya puisi-puisi KJ ini tergolong puisi-puisi yang tidak rumit alias mudah dimengerti, sekaligus tetap menyentuh dan seringkali berhasil mengharukan. Bagi saya, dengan menjadi penyair saja seseorang telah menjadi istimewa pada zaman tanpa hati dan serba tega seperti sekarang, apalagi jika puisi-puisinya sungguh menyapa dan menggugah perasaan Artinya, dengan menulis puisi, seseorang berpeluang memanusiakan orang-orang dan itulah sesungguh-sungguhnya keistimewaan, yang kiranya dengan buku puisi ini telah dicapai KJ.<br /><br /><strong>Heru Emka, penyair dan peminat dalam kajian budaya</strong>: Di tangan KJ sajak tak lagi seonggok kata-kata namun menjelma dalam sejumlah metamorfosa yang jelmakan berbagai suasana. Ada tema romantik nan liris, hingga kejutan tak terduga dari sebuah improvisasi kata-kata. Puisinya di buku ini melaju nyaman sebelum berkelok ke kanan-kiri lalu membumbung tinggi dan menukik, lontarkan kesimpulan yang terkadang ringan dan menjelmakan sensasi menyenangkan. </div><div align="justify"><br /><strong>Ags. Arya Dipayana, penyair, aktor & dramawan</strong>:Lewat sajak-sajaknya, KJ berhasil menyulap peristiwa sehari-hari menjadi ruang kontemplasi. Kadang seperti igauan, gumam, renungan atau tawa lirih dalam nada rendah. Pada saat yang sama, peristiwa-peristiwa kecil itu menjadi metaforik, akrab dan hangat, justru karena kesederhanaannya.</div><br /><div align="justify"><strong>Biodata KJ: </strong>Kurniawan Junaedhie lahir di Magelang, 24 November. Menulis sejak 1974 di berbagai media massa, seperti Horison, Kompas, Suara Karya, Suara Merdeka, Berita Nasional, Masa Kini, Jurnal Indonesia, Suara Pembaruan, dan Sinar Harapan. Buku pu-isinya antara lain: Rumpun Bambu (Purwokerto, 1975), Armageddon (Purwokerto, 1976), Waktu Naik Kereta Listrik (Jakarta, 1977), Selamat Pagi Nyonya Kurniawan (Tiara Kliq, Jakarta, 1978), Dari Negeri Poci (kump. puisi bersama 12 penyair Indonesia, Pustaka Sastra, Jakarta, 1993), Dari Negeri Poci 2 (kump. puisi bersama 45 penyair Indonesia, Pustaka Sastra, Jakarta, 1994), Dari Negeri Poci 3 (kump. puisi bersama 49 penyair Indonesia, Majalah Tiara, Jakarta, 1996), The Fifties Selection, Antologi 20 Penyair Indonesia (Ed. Hendry Ch Bangun, Pustaka Kreasi, Jakarta, 2009), Cinta Seekor Singa (Penerbit Bisnis2030, Jakarta, 2009), dan Perempuan dalam Secangkir Kopi (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2010). Terakhir, kurator/ editor buku antologi Merah Yang Meremah, antologi 10 penyair perempuan di Facebook (Bisnis2030, Jakarta, 2009). Ia juga menulis cerita pendek. Cerpennya, “Nama Saya Gadok”, dipilih Satyagraha Hoerip dalam Antologi Cerpen Indonesia Jilid IV (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1986). Buku kumcernya, Tukang Bunga & Burung Gagak, bersama Agnes A. Majestika, Kurnia Effendi & Ryana Mustamin, (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2010) dan Opera Sabun Colek (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2010). </div><div align="justify"><br />Namanya tercatat dalam buku Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern karya Pamusuk Eneste (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1990) dan Leksikon Susastra Indonesia karya Korie Layun Rampan (Balai Pustaka, Jakarta, 2000).</div><div align="justify"><br />Pernah menjadi redaktur beberapa majalah di kelompok Kompas Gramedia al: Redaktur Pelaksana Majalah Jakarta-Jakarta (1985-1989), Pemimpin Redaksi Majalah Tiara, (1989-1999), dan terakhir: Redaktur Berita di Kompas Cyber Media (2000). Menulis buku pers: Ensiklopedia Pers Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991), Menggebrak Dunia Pers (Puspa Swara, Jakarta, 1993), Rahasia Dapur Majalah di Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995) dan Ensiklopedia Pers Indonesia (Edisi yang Diperbaharui, Bisnis2030, Jakarta, 2010).</div><div align="justify"><br />Kini tinggal di Serpong, Tangerang bersama istri: Maria Nurani dan dua putri: Azalika dan Betsyiela. Bekerja sebagai guest editor untuk sejumlah penerbitan di Jakarta dan tukang kebun.****** </div><br /><div align="justify"><br /><span style="color:#ffffff;">-</span><br /><span style="color:#ffffff;">-</span> </div>Unknownnoreply@blogger.com1