Minggu, Juli 11, 2010

Tukang Bunga & Burung Gagak - Kumpulan Cerpen

BUKU KUMPULAN CERPEN:
TUKANG BUNGA & BURUNG GAGAK
Kumpulan Cerpen 4 Cerpenis Indonesia
Agnes A Majestika, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie dan Ryana Mustamin
Februari 2010
184 hal + VIII
Harga Rp. 40rb

Komentar Seno Gumira Adjidarma tentang buku ini:
Cerpen / Cermin

Manakah yang lebih penting,
dunia yang dicerminkan cerpen,
atau cerpen sebagai cermin itu sendiri?

Jika cerpen boleh diandaikan sebagai cermin, setelah membaca kumpulan cerpen Tukang Bunga & Burung Gagak, dunia macam apakah kira-kira yang telah dicerminkannya?

Membaca empat cerpen Agnes A. Majestika secara berturut-turut, saya melihatnya sebagai kesatuan sebuah dunia yang berurusan dengan anak, atau tepatnya calon anak. Dalam latar masa depan, “Calon Adik untuk Bhi” adalah tentang calon anak yang masih berada dalam kandungan; “Istri” bicara tentang calon anak yang (mumpung) belum ada; “Langkah”, meski berurusan dengan sapi, topiknya adalah janin dalam perut sapi yang sangat diharapkan pemiliknya menjadi sapi; sedangkan “Alibi” berkisah tentang suami istri yang tidak disebutkan punya anak atau tidak, dan memang tidak bicara tentang anak sama sekali.


Bagi saya, ketiadaan perbincangan tentang anak sama sekali pada cerpen terakhir, justru setelah perbincangan tentang calon anak (termasuk anak sapi) pada ketiga cerpen sebelumnya—meski dalam ketiganya anak itu belum ada—tidak membuat gagasan tentang anak terhapus sama sekali. Sebaliknya, kehilangan gagasan anak itu sangat terasa, sehingga keberadaan gagasan tentang “anak” itu semakin kuat, ketika saya bertanya-tanya, kapan cerita itu akan sampai kepada perbincangan tentang anak?


Dengan demikian, takterhindar berlangsungnya pembacaan intertekstual, bahwa proses pembermaknaan cerpen yang terakhir itu tertentukan oleh pembacaan cerpen-cerpen Agnes sebelumnya—dan saya terpesona oleh kenyataan bahwa makna “anak” (termasuk anak sapi) bisa hadir dengan tegas dalam tiga cerpen yang belum menghadirkannya sebagai “objek”, bahkan menghadirkan rasa kehilangan, bagaikan sebelumnya sudah ada dan karena itu jadi bermakna, dalam cerpen keempat yang justru tidak membicarakannya sama sekali.


Namun saya baru bisa menempatkan posisi cerpen Agnes dalam perbincangan ini, hanya setelah sampai kepada cerpen-cerpen Kurnia Effendi.


***



Di antara empat cerpen Kurnia Effendi, saya memusatkan perhatian kepada yang ketiga, “Pojok Kafe Simpang Lima”, karena jika tiga cerpennya yang lain memang menggambarkan sebuah dunia yang dicerminkan, dan ternyata di sana pula posisi cerpen Agnes, maka dari cerpen ini saya dapat menggagas tentang cermin itu sendiri. Jadi membaca cerpen memang memberikan kita pilihan, apakah membaca dunia yang dicerminkan ataukah membaca cermin itu sendiri—dan ternyatalah bahwa yang tertulis itu bukanlah sekadar “cerita yang pendek”, melainkan semacam puisi. Artinya bahasa di sini tidak bermaksud menunjuk sesuatu yang digantikannya dengan deskripsi sejelas-jelasnya, melainkan menunjuk dirinya sendiri sebagai cermin yang mengatasi dunia yang dicerminkannya—dunia “nyata” dihapus, dan cermin itulah yang menggantikannya, bukan sebagai cermin, melainkan sebagai dunia itu sendiri.


Apa boleh buat, susunan kata-katanya memang telah menjadi sebuah dunia, tempat bisa dirasakan kembali suasana hati seseorang yang merindukan kembali sesuatu yang telah berlalu. Dapat dibaca bahwa bukan alur yang penting di situ, bukan “ceritanya bagaimana”, melainkan “rasanya bagaimana”, karena merupakan sebuah monolog, tetapi bukan seperti dari mulut seorang aktor di atas panggung yang wajib menyampaikan segala sesuatunya dengan artikulasi sejelas-jelasnya, melainkan seperti “surat” yang ditujukan kepada seseorang, tetapi tentang segala sesuatu yang sudah sama-sama dimengerti—menjelma suatu suasana hati yang ingin dibagi.


Menyadari keadaan ini, makin tegas kehadiran dikotomi itu: antara cermin dan dunia yang dicerminkannya; apakah suatu cerpen akan menjadi cermin yang menunjuk sesuatu yang bukan dirinya; ataukah bisa diandaikan sebagai satu-satunya keberadaan dunia yang sah, karena dunia yang terandaikan sebagai dicerminkannya memang sudah tidak terlacak lagi. Dikotomi macam inilah yang membedakan cerpen “Pojok Kafe Simpang Lima” ini dengan tiga cerpen Kurnia Effendi lainnya.


***


Dengan kesadaran ini, saya menjadi lebih siap menerima tokoh burung gagak dalam “Tukang Bunga & Burung Gagak” yang ditulis Kurniawan Junaedhie, karena sudah jelas burung gagak dalam cerita itu bukanlah burung gagak dari kehidupan sehari-hari, melainkan burung gagak dari dunia simbolik—dalam hal ini burung gagak sebagai simbolisasi pencabut nyawa. Dengan kesepakatan ini, seorang pembaca tidak akan menjadi bingung, dan dalam kebingungannya lantas mengambinghitamkan cerpen yang dibacanya, karena cerpen ini memang berkisah tentang ironi seorang tukang bunga, yang selalu diuntungkan oleh kematian orang lain, tetapi tidak menyadari betapa dekat bayang-bayang kematiannya sendiri.


Dalam hal ini juga, bukan dunia yang dicerminkan cerpen, melainkan cerpen sebagai cermin itu sendiri yang mengambil peran, karena dunia dalam cerpen ini secara harfiah tentu tidak dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ini tidak berarti pendekatan cerpen yang satu dapat dianggap lebih baik atau lebih kreatif dibanding pendekatan cerpen yang lain, karena baik dan tidak baik itu tidak merupakan substansi yang berada di dalam cerpen, melainkan dalam wacana pembaca itu sendiri, yang jika bertanggungjawab, dapat menjelaskan kenapa dirinya suka atau tidak suka terhadap cerpen tertentu.


Maka saya pun dapat menerima dua cerpen Kurniawan yang lain, seperti “Opera Asmara” dan “Kenangan Keluarga” yang “sehari-hari sekali” maupun yang karikatural seperti “Sepatu Elvis”, yang ketiganya jelas berbeda pendekatan dengan “Tukang Bunga & Burung Gagak” tadi—jika dua yang pertama dapat dianggap terarah kepada dunia yang dicerminkan; dua yang terakhir menarik perhatian kepada cerpen sebagai cermin itu sendiri, dengan perbedaan bahwa meskipun keduanya sama-sama ironis, jika “Sepatu Elvis” dengan sifat karikaturalnya menimbulkan efek lucu, hal itu tidak terjadi dengan “Tukang Bunga & Burung Gagak”.

***


Empat cerita pendek Ryana Mustamin saya kira juga mengarahkan perhatian kepada dunia yang dicerminkannya, dan bukan kepada cerpen sebagai cermin itu sendiri—dalam pendekatan ini tema yang terungkap menjadi penting, karena bukan cara penyampaian yang menjadi persoalan. Di antara empat cerpen, tidak dapat saya ingkari bahwa “Dahaga” menempatkan dirinya dalam posisi penting, dalam hubungannya dengan perbincangan mitos tentang perempuan.


Dalam cerpen “Dahaga” seorang perempuan mandiri, feminis dan aktivis LSM yang antipoligami, mengaku kepada dirinya sendiri, betapa ia telah menyerah kepada desakan tubuhnya, yang telah membawanya untuk menerima undangan seorang lelaki beristri untuk bercinta. Konflik batin yang dapat diikuti dalam cerpen ini, tidak menutupi kehancuran mitos baru yang telah dibangunnya di atas mitos lama: dengan pernyataan perempuan tidak wajib menikah dan tidak wajib punya anak, tokoh aku telah menghancurkan mitos lama perempuan sebagai alat reproduksi; tetapi mitos baru bahwa perempuan mandiri mampu melepaskan diri dari ketergantungan kepada lelaki, dihancurkannya sendiri untuk kembali kepada mitos yang paling purba, bahwa desakan tubuh mengatasi penalaran dan mendapat pembenaran.


Cerpen ini berakhir dengan konflik batin, jadi pembaca dapat mengetahui betapa tiada makna yang dapat sungguh-sungguh menetap. Tergantung dari sudut mana memandangnya, pembaca dapat mengolah pembermaknaannya sendiri, apakah tokoh perempuan dalam cerpen “Dahaga” ini “kalah” karena mengorbankan prinsip, atau “menang” karena akhirnya mampu untuk menjadi tidak lagi munafik—dan dalam hal ini pula pembermaknaan pembaca yang dapat dipertanggungjawabkan tidak perlu ada yang “benar” maupun yang “salah”.

***


Kemungkinan terakhir ini, bahwa pembaca berhak sepenuhnya mengolah pembermaknaannya masing-masing, membebaskan cerpen atau apa saja dari kriteria “sastra”. Namun ini tidak harus berarti sastra tiada maknanya lagi. Betapapun yang dibaca adalah tulisan, dan melalui tulisan itulah segala sesuatu ditafsirkan dalam pembermaknaan. Jadi, pembedaan antara “dunia yang dicerminkan cerpen” dan “cerpen sebagai cermin itu sendiri” adalah pembedaan konseptual yang dapat berlaku untuk tulisan yang sama—yang pertama berurusan dengan mitos, yang kedua berurusan dengan teks; dalam keduanya sudah terbangun tradisi pembermaknaannya masing-masing, yang terhadap keduanya pun dapat berlaku pembacaan intertekstual dan multidisipliner. Dalam bahasa awam, membaca cerpen itu tidak perlu terikat kepada kriteria apapun—tidak ada benar dan salah, tidak ada indah dan tak-indah, tetapi pasti ada suka dan tidak suka, karena wacana pembacalah yang menentukan makna, sedangkan wacana setiap pembaca itu takmungkin persis sama.

SGA


(Bahan diskusi buku Tukang Bunga & Burung Gagak, kumpulan cerpen Agnes A. Majestika, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie, Ryana Mustamin, PDS HB Jassin, TIM, Sabtu 13 Maret 2010. 14:00).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar