Sabtu, September 08, 2012

MENYAMBUT BUKU PROFIL PEREMPUAN & PENGARANG INDONESIA - KURNIA EFFENDI


Perempuan adalah ‘magma’ untuk hampir semua profesi. Ketika takdir membawa mereka sebagai penulis, ramuan antara realitas dan imajinasi menjadi lebih kaya oleh sentuhan emosi, bahkan memberi banyak kejutan. Dan seperti magma pula, dalam peta sastra kerap luput oleh dominasi laki-laki yang menggunung. Buku ini membuktikan bahwa tak sedikit perempuan penulis di Indonesia, dan banyak di antara mereka berawal dari cerpenis/novelis remaja


Itulah pendapatku ketika naskah buku Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia disodorkan oleh Kurniawan Junaedhie (selanjutnya KJ) kepadaku.Secara softcopymaupun hardcopy. Namun sebelum itu, ia memang sudah berancang-ancang lama untuk menyusun nama perempuan penulis, kukira dengan dua alasan: (1) sepanjang dua tahun belakangan, bergaul dengan banyak perempuan yang agak mendadak menjadi penyair dan fiksiwati, (2) ingin membuat para hawa yang berbakat, setengah berbakat, dan memiliki minat berat terhadap penulisan itu tercatat. Artinya, KJ ini memang tekun sebagai pemerhati, bak ketika dia aktif dengan anthurium-nya. Selain itu, ada sebuah celah untuk mencetak sejarah secara ringkas namun bermanfaat bagi banyak orang (terutama) yang ingin meneliti tentang sastra dari sisi penulis perempuan.


Ide yahud, kurasa. Buku ini jadi penting. Penyusunnya akan bertambah penting, dan profil yang terhimpun di dalamnya berada pada posisi dipentingkan. Bersyukur aku memiliki dua. Satu kuberikan kepada teman yang namanya tercantum di dalamnya. Sebagaimana pernah kukatakan dalam status FB di Hari Kartini, selalu terbukti bahwa tulisan lebih kuat menorehkan jejak ketimbang benda tajam lainnya. Kukira, buku ini bakal dikenang dan disukai, terutama oleh tokoh-tokoh yang tertera di sana.


Dan aku tersanjung oleh “ucapan” KJ dalam pengantarnya: "Pada gilirannya selaku penyusun buku ini, saya harus mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak. Utamanya kepada sejawat yang budiman Adri Darmadji Woko dan Kurnia Effendi. Merekalah yang selama penyusunan buku ini berlangsung, menjadi supervisor saya. Bukan menjadi rahasia umum lagi, di samping memiliki koleksi buku yang lumayan, kedua sejawat saya tersebut memang dikenal memiliki ingatan tajam dan pengetahuan luas tentang khasanah kepenulisan sesuai minat masing-masing."


Berlebihan sih. Mas Adri menyukai puisi, aku menggemari cerpen. Bukan berarti hebat. Tetapi kecintaan kami terhadap sastra ternyata ada manfaatnya bagi KJ. Jadi kupersilakan saja ketika KJ berniat singgah ke Rumah Anggit untuk menelisik satu per satu buku milikku (setelah sebelumnya ke rumah Mas Adri). Dan memang, tanpa disadari aku ikut berpikir: siapa lagi ya? Setidaknya kemudian kuusulkan nama-nama seperti Kembangmanggis, Katyusha, Judith, Reda Gaudiamo (yang selama ini dikira cowok oleh KJ), Vivi Diani Savitri, Rita Achdris, Riana Ambarsari, Wikan Satriati….


Cara kerja KJ begitu lekas, gegas. Tidur menjelang pagi, pagi-pagi sudah kelayapan lagi, di antaranya ke pusdok HB Jassin. Obsesif. Tak mau menunda. Kritis. Blitzkrieg. Tapi untuk tidak terlalu serampangan. Selalu ada target waktu, spontan, agak gila, tapi realistis. Ah, aku ingat betul bagaimana dia dulu bersama Seno Gumira, Noorca, Dharnoto, membikin majalah yang dua per tiga berisi gambar: Jakarta Jakarta. Seru!


Kini buku itu sudah usai dan aku yakin telah beredar luas. Peluncurannya kalau tak salah mengambil tempat di Jepara bertepatan dengan tanggal lahir Bunda Raden Ajeng Kartini. Aku tak perlu menjelaskan bagaimana buku ini suatu saat akan menjadi pegangan wajib mahasiswa fakultas sastra, namun yang lebih gawat adalah: buku ini akan membuat para perempuan yang tak kunjung menulis, luput dari catatan KJ.


Salam hangat

Kurnia Effendi


SECANGKIR HARAPAN - ASPAR PATURUSI

SUDAH TERBIT AWAL JULI 2012:


SECANGKIR HARAPAN, buku kumpulan puisi Aspar Paturusi.

Kata Pengantar: Maman S. Mahayana

ISBN: 978-602-8966-38-2178.

Tebal 170 hal. Hard Cover.


"Keseluruhan puisi yang terhimpun dalam antologi ini terkesan sederhana—yang secara tekstual dapat diapresiasi tanpa harus stres memahami maknanya. Dan di balik kesederhaan itu, ada kedalaman, ada makna yang tidak sekadar, ada pesan spiritualitas berkaitan dengan keberadaan manusia dalam hubungan sosial, kenegaraan, lingkungan hidup, dan Tuhan. Di situlah, tanpa harus berkhotbah, sejumlah puisi dalam antologi ini menawarkan banyak hal, termasuk di dalamnya mengundang diskusi yang menarik ketika pembaca memasuki medan tafsir. Itulah puisi yang sebaik-baik dan sebenar-benarnya puisi! Percayalah!" (Kutipan dari Kata Pengantar Maman S. Mahayana).


ASPAR PATURUSI lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 10 April 1943. Selain menulis puisi, ia juga dikenal sebagai penulis naskah drama, dramawan, aktor film/ sinetron dan novelis. Ia juga dikenal sebagai pendiri Dewan Kesenian Makassar dan menjadi pengurusnya selama 17 tahun, Anggota/ Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1990-2002), Wakil Ketua Umum PB Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 1990-1993 dan Sekretaris DP Organisasi PARFI 2006-2010. Sebagai penyair, puisi-puisinya dipublikasikan di berbagai media massa. Antara lain pernah dimuat di Mimbar Indonesia asuhan HB. Jassin (1960). Puisi-puisinya ikut di berbagai antologi puisi: Sajak-sajak dari Makassar (1974),Tonggak III (1985), Ombak Losari (1992), Ombak Makassar (2009), dan Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia (2012). Buku puisi tunggalnya, Sukma Laut (1985), Apa Kuasa Hujan (2002), dan Badik (2011).

PUISI DAN POLITIK

Oleh Handrawan Nadesul


BENAR Alois Agus Nugroho. Kekuasaan dan kepemimpinan membutuhkan aspek puitis (Kompas, 4/6/2004). Bunyi itu relevan dan menggelitik batin kita yang sedang bingung mencari pemimpin bangsa yang eligible. Pesan pidato itu menyiratkan perlunya kesadaran, tanpa sentuhan "puisi" betapa kekuasaan dan kepemimpinan cenderung keras dan kasar. Setiap pemimpin perlu ruang batin untuk diisi "puisi-puisi" kehidupan. "Kepemimpinan pascamodern perlu menyadari, kekuasaan dan kepemimpinan perlu memiliki aspek puitis."

Pidato itu ditutup dengan pesan, "Para pemegang kekuasaan dan pemegang tampuk kepemimpinan yang tak memiliki apresiasi terhadap sastra, musikal, atau puisi semestinya keluar dari lingkaran elite." Seelok itukah angan-angan politik bangsa kita?


***


TAK ada catatan kita pernah punya presiden penyair. Bung Karno cuma apresiator sastra. Namun, beberapa presiden AS tercatat suka puisi dan mantan Presiden Abraham Lincoln adalah penyair selama bersahabat dengan penyair Walt Whitman. Sentuhan puitis memberi persona antiperbudakan dan semangat demokrasi.


Diberitakan Presiden Bush juga menulis puisi, dan mantan Presiden Bill Clinton berapresiasi sengaja mengundang tiga penyair kenamaan ke Gedung Putih saat Bulan Puisi Nasional. Tak banyak yang tahu bila Donald Rumsfeld (Menhankam AS) juga seorang penyair. Membaca setiap pidato mantan Presiden Ronald Reagan semasa hidupnya, kita merasakan betapa kaya ungkapan puitisnya. Bukti bahwa dalam pendidikan Barat kesusastraan sama vitalnya dengan matematika.


Dulu penyair dipandang sebagai pujangga, penasihat raja. Boleh jadi karena dibanding orang biasa, penyair punya kelebihan, seperti kepekaan sosial, visioner, lebih dulu menangkap apa-apa yang orang biasa belum atau gagal menangkapnya, jujur pada kata hati, bicara apa adanya, dan patuh serta hormat kepada kebenaran hidup.


Pablo Neruda, penyair Cile yang beradab dalam berpolitik, pernah menjadi kandidat presiden Cile sebelum mendapat hadiah Nobel. Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Perancis, pioner demokrasi dan kebebasan pers, memilih turun terhormat, memberikan kekuasaannya kepada perdana menterinya setelah 20 tahun memerintah. Jacques Chirac pemuka Perancis, bangsa yang pernah menjajahnya menulis catatan saat kematian Senghor sang penyair yang presiden itu, "Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend".


***


BUAT kita, sastra dan kesenian nyatanya kian terpinggirkan dari kehidupan berbangsa, bangsa yang katanya berbudaya. Rubrik sastra koran dan majalah sudah lama tersisih oleh iklan dan berita ekonomi. Anak sekolah lebih tertarik budaya pop ketimbang bersastra dan berkesenian. Kesusastraan dan kesenian bukan lagi bagian integral dan sosok internalisasi kepribadian anak sekolah kita.


Sekolah tidak mewajibkan sastra menjadi bagian kehidupan siswa. Mungkin di situ awal kerisauan elite bangsa, betapa majal ekspresi dan kepekaan hidup rata-rata anak dan masyarakat kiwari kita. Mungkin karena itu pula banyak produk pejabat tidak peka, kurang berempati, boleh jadi karena pendidikan kurang memberi ruang batin untuk membangun keelokan itu. Bila ada pejabat berdeklamasi, membaca puisi, itu cuma tugas seremonial belaka.


Persona penyair wajah arif kehidupan. Jarang terjadi puisi dan perang tampil dalam tubuh kalimat yang sama. Boleh jadi betul pesan Guru Besar Alois, dalam berpolitik kita memerlukan lebih banyak sentuhan "puisi" agar bangsa tidak tercerai-berai. Aspek puitis dalam kehidupan, bukan cuma ada pada sosok puisi sendiri, namun tercurah dalam kehidupan dengan spirit berpuisi. Puisi ada di mana-mana sudut kehidupan. Eloknya juga perlu hadir dalam setiap tampuk kepemimpinan.


Puisi adalah petuah, mantra, dan kehidupan sendiri. Puisi itu vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani, yang menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih santun dan beradab.


Sudah lama dunia internasional membangun puisi sebagai terapi (The International Association for Poetry Therapy). Banyak klub dan organisasi terapi puisi di dunia. Puisi sebagai obat stres bukan isapan jempol. Puisi menyimpan efek relaksasi (Dietrich von Bonin, Henrik Bettermann).


Dari studi yang sama terungkap efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, tetapi juga bisa mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni (International Journal of Cardiology 6/9/2002). Dengan puisi, temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.


***


BERPUISI, bersastra, dan berkesenian harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidimensi kita diperburuk dan diperpelik timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, tetapi mengabaikan pembangunan inner beauty bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi, dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat berpolitik.***


(Dikutip dari KOMPAS Rabu, 23-06-2004. Halaman: 5)

Selasa, September 14, 2010

Karamel - Buku Puisi dan Ilustrasi Ping Homeric

KARAMEL,
Buku kumpupulan puisi cinta dan ilustrasi karya Ping Homeric
Editor: Kurniawan Junaedhie
Ilustrasi & Penata Letak: Ping Homeric
Perancang Sampul: Ping Homeric (Ilustrasi) , Margaret Hartono (Tipografi) dan Adam Benton (3D Rendering)

Buku puisi ini menghimpun puisi2 cinta karya Ping Homerik. Ping Homeric lahir di kota Makassar (Ujung Pandang). Mengemari seni sejak kecil, terutama menggambar dan melukis. Waktunya sering dihabiskan membuat gambar-gambar kartun dari tayangan tivi dan buku bacaan anak-anak, tak ayal dia pun gemar membaca dan menulis. Semenjak remaja, dia mulai jatuh cinta pada puisi.

Gelar sarjana seni diperolehnya dari Universitas Trisakti, Jakarta. Pada tahun 1992, Ping hijrah ke Beijing, China, untuk menekuni seni lukis tradisional China di Central Academy of Fine Arts. Saat itu, dia menyadari bahwa lukisan dan puisi (kaligrafi) dapat bersanding mesra dalam sebuah karya seni, saling memperkaya makna — pengertian yang lalu diterapkan di buku ini. Cinta akan seni dan desain, mendorong Ping mengambil program master di Savannah College of Art and Design di Georgia, USA. Sejak tahun 1999 hingga kini, Ping yang berprofesi sebagai perancang grafis, menetap di Chicago, USA, bersama istri dan dua anaknya. Waktu luang, sering diisinya dengan melukis, membuat karya ilustrasi dan menulis puisi.

Karya-karya desain dan ilustrasi Ping telah banyak dipublikasikan ke dalam buku, majalah dan media elektronik. Demikian pula puisi-puisinya dapat dinikmati di Kompas Online, Harian Fajar dan Poetry.com.

Karamel adalah buku kumpulan puisi Ping yang pertama.
Simak salah satu puisinya:

"Matamu"


matamu sampan
bulan terlelap di dalam
lentik bulu matamu, menari ilalang
di tepian, aku datang
mengail di jernihnya hatimu
-

Sabtu, September 11, 2010

Sajak Emas, 200 Puisi Sexy - Dimas Arika Mihardja

Sajak Emas
200 Puisi Sexy
Kumpulan Puisi Dimas Arika Mihardja
Perancang sampul: Ardi Nugroho.
208 HAL + VIII. Rp. 50.000,-


Buku "SAJAK EMAS: 200 puisi sexy Dimas Arika Mihardja" ini dimaksudkan sebagai penanda bahwa pengarangnya masih terus bersetia di dunia penulisan kreatif puisi. Buku ini, juga tidak dimaksudkan sebagai buku puisi yang fenomenal, spektakuler, atau best seller. Pengarang amat tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat "proyek rugi" secara finansial, tetapi "proyek besar" bagi kemanusiaan.

Simak kata pengantar pengarangnya:

"Selama kurang lebih 25 tahun karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang sexy. Bagi saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang sexy. Sexy? Ya, ke-sexy-an menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah ke-sexy-an secara batiniah. Nah, "apa pula ke-sexy-an yang bersifat batiniah ini?", mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang sexy.

Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya.

Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi." (Lengkapnya lihat di buku)
.

Sabtu, Agustus 07, 2010

Bunga Rindu di Sandaran Bintang - Kump.Puisi Kwek Li Na

Bunga Rindu di Sandaran Bintang
Kumpulan Puisi Kwek Li Na
118 hal + X
Cetakan Pertama, Agustus 2010
Editor: Kurniawan Junaedhie
ISBN: 978-602-96333-7-5

Saya menemukan nama Kwek Li Na hampir setahun lalu ketika saya sedang menyiapkan buku antologi puisi perempuan yang menulis puisi di Facebook. Siapa Kwek Li Na? Nama ini terus terang saja nyaris jarang dipercakapkan dalam perbincangan sastra di kota saya, Jakarta. Tapi orang ini, ternyata sangat produktif menulis puisi di halaman Facebook. Siapa Kwek Li Na?

-
Dalam blognya, ia menulis: Saya bermarga Kwok (baca dalam bahasa Mandarin) atau Kwek (baca dalam bahasa Hokkien). Bernama Li Na. Dalam bahasa mandarin penulisannya 郭 莉 娜 . Yang berarti, sekuntum melati yang putih, indah, harum mewangi. Kenapa bukan Mawar? Mengutip pepatah, ia mencoba menghibur diri bahwa, wanita tak perlu secantik mawar, cukuplah secantik melati yang tak berduri.
-
Dia lahir di Semitau, Kalimantan Barat, dengan nama panggilan, A Ling, nama kecil, sekaligus nama yang dikenal keluarga dan teman-teman dekatnya. Dimanakah Semitau? Kalau kita menyimak literatur, maka daerah itu merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Bahasa aslinya, adalah bahasa Dayak. Orangtuanya sendiri berbahasa Khek dan di rumah ia lebih banyak berbahasa Dayak Kapuas Hulu. Dengan demikian, ketika ia menulis puisi dalam bahasa Indonesia, bisa dipastikan ia menulis puisi tidak menggunakan bahasa ibunya.
-
Jadi darimana A Ling punya kecakapan menulis puisi, tak ada data yang jelas, misalnya apakah ia mewarisi bakat seni dari orangtuanya atau ada kerabatnya yang jadi seniman. Ia hanya mengatakan dalam blog itu, bahwa “saya suka membaca apa saja sebagai ilmu dan pengetahuan, membuat dan mendengar kata-kata mutiara, puisi, sangat menyenangi dan mengetahui, hal-hal tentang kesehatan, kecantikan, fashion dan juga perjalanan-perjalanan ataupun tempat wisata yang menarik…” Jadi, boro-boro kita bisa menemukan jawaban, kenapa ia bisa menulis puisi dalam bahasa Indonesia sementara ia juga saat ini tinggal bersama suaminya di Taiwan.
-
Apakah ini berarti ia menulis puisi dengan bermodalkan bakat alam? Tak jelas. Yang pasti, bakat kepengarangannya, cocok dengan bunyi sebuah ramalan yang dibacanya (kemudian dicatat baik-baik di halaman FB-nya). Menurut ramalan itu, ia cocok di dalam pekerjaan sebagai pengarang, atlit, penerbit, serta dapat pula sebagai mubaliq. Perhatikan, kata ‘pengarang’ itu.
.
Dan yang jelas menakjubkan, sebagai orang kelahiran Semitau, yang menyelesaikan D3 di ABA di Pontianak, sempat merantau ke Brunai Darusalam sebagai TKI (hanya sebentar) dan tinggal di Taiwan, bahasa Indonesianya memang terbilang cukup memadai, meski tentu saja vocabulary-nya tidak sekaya orang yang hidup dengan tradisi berbahasa Indonesia. Tapi justru di situlah keunggulan Kwek Li Na sebagai penyair berbahasa Indonesia. Kata, frasa, majas dan metafornya bersahaja. Tak ada kesan bermegah-megah dalam membangun imaji-imaji puitik dengan kata-kata arkaik atau sebaliknya kata-kata dahsyat yang melambung-lambung seperti halnya banyak dilakukan penyair modern masa kini. Pesannya lugas, tidak ruwet, dan kaya dengan perumpamaan-perumpamaan cerdas yang mengingatkan saya pada puisi-puisi Cina klasik.
-
Buku ini memuat sebanyak 107 puisi Kwek Li Na. Melalui buku ini diharapkan Anda bisa lebih dalam mengenali anak kelahiran Semitau itu secara lebih utuh sebagai penyair.
-
Selamat membaca!

Jakarta, 17 Agustus 2010

[1] Penyunting buku, dan penyair.
Kata pengantar Kurniawan Junaedhie dalam buku kump. puisi "Bunga Rindu Di Sandaran Bintang" karya Kwek Li Na

Kamis, Agustus 05, 2010

Mata Hati - Kumpulan Foto & Puisi Agustus Sani Nugroho

Mata Hati,
Kumpulan Foto & Puisi
karya Agustus Sani Nugroho.
15,5, x 21 cm
260 halaman kertas AP 120 gr
Hardcover/ Lux
ISBN: 978-602-96333-9-9
Agustus, 2010


Sepanjang tahun 2007 hingga Juni 2010, Agustus Sani Nugroho, -- ayah tiga anak, suami seorang dokter ahli anestesi, yang sehari-hari adalah corporate lawyer dan bos untuk sejumlah usaha bisnis di Jakarta, yang mengaku bukan fotografer profesional atau penyair-- telah mengembara ke segala penjuru tanah air, juga ke seantero belahan dunia lain, baik untuk urusan bisnis maupun untuk urusan pribadi. Seperti halnya pengembara, ia mencoba mencatat dan mengabadikan banyak hal yang ditemuinya. Tapi tak seperti fotografer lain atau penulis perjalanan umumnya, Nug –begitu ia biasa disapa-- lebih banyak menggunakan mata hati ketika membidikan kameranya ke berbagai obyek. Ia bahkan tak perduli mengenai rana, bukaan lensa, diagfragma dan pernik-pernik teknis lainnya dalam memotret. Hasilnya, hampir ribuan foto, yang sebagian kecil saja (219 foto) diabadikan dalam buku ini.

Maka jangan kaget bila nanti kita akan melihat hal-hal yang sering kita lihat dan saksikan tetapi muncul di buku ini dengan pemaknaan baru. Seperti, foto sayap pesawat yang ia bidik di atas langit Tokyo, aura berbeda di sudut kota Munich, percik air yang menyembur dari boat yang ditumpanginya di Sungai Siak, bangunan tua di Amsterdam, senjakala di jalan tol Jagorawi, rintik hujan di teras rumah, butir air di kaca pesawat, lampu jalanan di Singapura, marka jalan di Roma, sungai di Zurich, detil Big Ben di London, kastil megah di Edinburgh dan puluhan foto lainnya yang unik, dramatis, kocak, puitik dan menggelitik.

Ia sendiri rupanya percaya bahwa gambar itu sudah menyimpan 1000 makna, sehingga ia tak memasang caption atau keterangan foto. Namun demikian, ia menambahkan selarik puisi dalam setiap fotonya. Itu rupanya dimaksudkan agar kita –penikmat bukunya--, tak hanya sekadar menikmati ‘sekadar panorama’ oleh-oleh perjalanan sang tokoh ke segala sudut bumi, tetapi juga merenungi moment-moment penting itu. Hasilnya adalah buku yang kita pegang sekarang ini: "Mata Hati", sebuah buku kumpulan foto berpuisi atau sebuah buku kumpulan puisi dengan foto.
.
Bagi para penggemar keindahan, inilah ‘album foto’ yang menyajikan ‘informasi’ dengan cara pandang berbeda. Bagi penggemar sastra, bisa jadi ini juga cara baru untuk menikmati sastra dengan cara lebih menghibur. Sedang bagi penggemar fotografi, ini juga album foto yang menarik untuk dikaji.
.
Pemasangan foto dibagi per daerah atau lokasi. Diawali dengan panorama Jakarta, kemudian disusul panorama-panorama lain di mancanegara, dan diselang-seling dengan panorama dalam negeri dan begitu seterusnya. Bagi peminat foto yang serius, disediakan indeks khusus mengenai hal-hal teknis foto. Pendeknya, asyik.