Sabtu, September 08, 2012

PUISI DAN POLITIK

Oleh Handrawan Nadesul


BENAR Alois Agus Nugroho. Kekuasaan dan kepemimpinan membutuhkan aspek puitis (Kompas, 4/6/2004). Bunyi itu relevan dan menggelitik batin kita yang sedang bingung mencari pemimpin bangsa yang eligible. Pesan pidato itu menyiratkan perlunya kesadaran, tanpa sentuhan "puisi" betapa kekuasaan dan kepemimpinan cenderung keras dan kasar. Setiap pemimpin perlu ruang batin untuk diisi "puisi-puisi" kehidupan. "Kepemimpinan pascamodern perlu menyadari, kekuasaan dan kepemimpinan perlu memiliki aspek puitis."

Pidato itu ditutup dengan pesan, "Para pemegang kekuasaan dan pemegang tampuk kepemimpinan yang tak memiliki apresiasi terhadap sastra, musikal, atau puisi semestinya keluar dari lingkaran elite." Seelok itukah angan-angan politik bangsa kita?


***


TAK ada catatan kita pernah punya presiden penyair. Bung Karno cuma apresiator sastra. Namun, beberapa presiden AS tercatat suka puisi dan mantan Presiden Abraham Lincoln adalah penyair selama bersahabat dengan penyair Walt Whitman. Sentuhan puitis memberi persona antiperbudakan dan semangat demokrasi.


Diberitakan Presiden Bush juga menulis puisi, dan mantan Presiden Bill Clinton berapresiasi sengaja mengundang tiga penyair kenamaan ke Gedung Putih saat Bulan Puisi Nasional. Tak banyak yang tahu bila Donald Rumsfeld (Menhankam AS) juga seorang penyair. Membaca setiap pidato mantan Presiden Ronald Reagan semasa hidupnya, kita merasakan betapa kaya ungkapan puitisnya. Bukti bahwa dalam pendidikan Barat kesusastraan sama vitalnya dengan matematika.


Dulu penyair dipandang sebagai pujangga, penasihat raja. Boleh jadi karena dibanding orang biasa, penyair punya kelebihan, seperti kepekaan sosial, visioner, lebih dulu menangkap apa-apa yang orang biasa belum atau gagal menangkapnya, jujur pada kata hati, bicara apa adanya, dan patuh serta hormat kepada kebenaran hidup.


Pablo Neruda, penyair Cile yang beradab dalam berpolitik, pernah menjadi kandidat presiden Cile sebelum mendapat hadiah Nobel. Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Perancis, pioner demokrasi dan kebebasan pers, memilih turun terhormat, memberikan kekuasaannya kepada perdana menterinya setelah 20 tahun memerintah. Jacques Chirac pemuka Perancis, bangsa yang pernah menjajahnya menulis catatan saat kematian Senghor sang penyair yang presiden itu, "Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend".


***


BUAT kita, sastra dan kesenian nyatanya kian terpinggirkan dari kehidupan berbangsa, bangsa yang katanya berbudaya. Rubrik sastra koran dan majalah sudah lama tersisih oleh iklan dan berita ekonomi. Anak sekolah lebih tertarik budaya pop ketimbang bersastra dan berkesenian. Kesusastraan dan kesenian bukan lagi bagian integral dan sosok internalisasi kepribadian anak sekolah kita.


Sekolah tidak mewajibkan sastra menjadi bagian kehidupan siswa. Mungkin di situ awal kerisauan elite bangsa, betapa majal ekspresi dan kepekaan hidup rata-rata anak dan masyarakat kiwari kita. Mungkin karena itu pula banyak produk pejabat tidak peka, kurang berempati, boleh jadi karena pendidikan kurang memberi ruang batin untuk membangun keelokan itu. Bila ada pejabat berdeklamasi, membaca puisi, itu cuma tugas seremonial belaka.


Persona penyair wajah arif kehidupan. Jarang terjadi puisi dan perang tampil dalam tubuh kalimat yang sama. Boleh jadi betul pesan Guru Besar Alois, dalam berpolitik kita memerlukan lebih banyak sentuhan "puisi" agar bangsa tidak tercerai-berai. Aspek puitis dalam kehidupan, bukan cuma ada pada sosok puisi sendiri, namun tercurah dalam kehidupan dengan spirit berpuisi. Puisi ada di mana-mana sudut kehidupan. Eloknya juga perlu hadir dalam setiap tampuk kepemimpinan.


Puisi adalah petuah, mantra, dan kehidupan sendiri. Puisi itu vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani, yang menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih santun dan beradab.


Sudah lama dunia internasional membangun puisi sebagai terapi (The International Association for Poetry Therapy). Banyak klub dan organisasi terapi puisi di dunia. Puisi sebagai obat stres bukan isapan jempol. Puisi menyimpan efek relaksasi (Dietrich von Bonin, Henrik Bettermann).


Dari studi yang sama terungkap efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, tetapi juga bisa mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni (International Journal of Cardiology 6/9/2002). Dengan puisi, temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.


***


BERPUISI, bersastra, dan berkesenian harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidimensi kita diperburuk dan diperpelik timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, tetapi mengabaikan pembangunan inner beauty bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi, dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat berpolitik.***


(Dikutip dari KOMPAS Rabu, 23-06-2004. Halaman: 5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar